BMT - 31

4.1K 347 112
                                    

•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hal yang terberat itu adalah ketika jarak di antara kita tidak akan bisa di ukur lagi.

~Irene Saraswati

"Mama mau melihat keadaan Irene dulu," mendengar hal itu Yuda menganggukkan kepalanya. Ia tidak mungkin egois untuk melihat keadaan Irene terlebih dahulu. Pasti kedua orang tua Irene lah memiliki keinginan yang lebih dari dirinya saat ini. Walaupun rasa ingin bertemu itu telah memuncak di dalam hatinya.

Dokter menyarankan untuk melihat keadaan Irene diperbolehkan hanya dua orang paling banyaknya. Karena semua itu demi kebaikan dan kenyamanan pasien itu sendiri.

"Kamu nggak papa?" Mendengar hal itu Zizi langsung menggelengkan kepalanya secara spontan.

"Kamu yakin?" Tanya Yuda kembali. Ia tidak yakin bahwa Zizi baik-baik saja, ia dapat melihat wajah istrinya cukup pucat.

Wanita itu pasti masih butuh istirahat. Setelah melalui malam panjang mereka. Tetapi kali ini, ia malah harus menghabiskan waktu di rumah sakit untuk menemaninya.

"Iya mas aku nggak papa," jawab Zizi kembali untuk meyakinkan suaminya itu.

Mungkin ia hanya terlihat pucat karena tidak menggunakan lipstik. Mungkin hanya karena itu!

"Ta-pi...," Zizi langsung menggelengkan kepalanya untuk meyakinkan Yuda bahwa ia baik-baik saja.

Sedangkan Yuda langsung menghela napasnya cukup panjang dan membuangnya kembali. Hampir setengah jam menunggu, akhirnya ia mendapatkan giliran untuk bisa bertemu dengan Irene.

"Kamu mau ikut?" Tanya Yuda.

"Mas aja yang duluan," jawab Zizi.

Hal ini memang ingin dilakukan oleh Zizi, ia ingin memberikan ruang untuk Yuda melepas segala isi hatinya, karena Zizi yakin bahwa banyak hal yang ingin disampaikan Yuda walaupun Irene masih dalam keadaan kritis.

"Kamu tunggu di sini," ucap Yuda sambil mengecup kening Zizi. Setelah itu ia langsung melangkahkan kakinya ke dalam ruangan itu.

Setelah memasuki ruangan itu, suara monitor menemani setiap ritme langkah kakinya menuju bangkar itu. Beberapa selang terpasang di tubuh Irene, hanya terlihat ketenangan pada wajah cantiknya itu. Yuda menggenggam jari-jemari lentik itu dengan begitu erat. Ia memberikan kecupan-kecupan singkat pada setiap jari-jemari itu.

Bukan Muara Terakhir ✓(Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang