Peter's POV
Kulihat pelanggan dari meja 9 melambai kearahku.
"Boleh pinjem handphone gak bro?" Tanyanya.
"Untuk?" Tanyaku lagi.
"Gue pengen kabarin nyokap. Diluar ujan, gue gabisa pulang." Katanya.
"Oh, ini." Kataku sambil mengeluarkan handphone dari saku.
"Pinjem sebentar ya, bro." Katanya.
"Take it easy." Kataku lalu meninggalkannya.
Tak lama kemudian ia melambai lagi kearahku.
"Punya charger gak, bro?" Tanya pelanggan itu.
"Hmm.. Untuk handphone?" Tanyaku lagi.
"iPhone 5? Gak mungkin kan gapunya? Handphone kita aja sama." Katanya terkekeh.
"Ada. Tunggu sebentar ya." Kataku.
Aku menuju loker penyimpanan tempat aku menyimpan semua barangku. Kuambil charger dan kuberikan padanya.
"Ini, bro." Kataku.
"Pinjem sebentar ya?" Katanya.
"Oke." Kataku.
"Ini handphonenya." Katanya sambil mengembalikan handphoneku. Dan aku meninggalkannya.
Ya, malam minggu. Pukul 1 pagi. Sekitar 5-6 meja terisi. Dan semuanya diisi oleh laki-laki, sendiri, dan asyik bermain dengan laptop-nya masing-masing. Kenapa mereka niat banget ya? Numpang wifi sampe larut malam gini.
Sebenarnya aku ga boleh pergi hari ini. Gara-gara semalam tuh. Aku habis dimarahi Uncle Jo. Entah cara memarahinya seperti cara Dad memarahiku. Mengoceh terus dan dia tahu saat aku benar-benar mengabaikannya. "Peter? Listen to me." begitu katanya jika aku sedikit saja lengah dari ocehannya. Dan akhirnya? Dia mengulang semua perkataannya lagi dari awal. Ah, tidak apa. Setidaknya ini membawa perasaan kangenku pada Dad.
Oh iya! Aku semalam bertemu Dad! Walau hanya di mimpi tapi itu terasa sungguh nyata. Aku ingat sekali disaat terakhir sebelum ia menghilang, ia bilang "Rasakanlah angin, dimana angin itu berhembus. Disitulah kau akan menemukanmu." Pernyataan ini nampak mainstream, dan klise. Tapi aku percaya, walau tidak ada angin pun. Ia ada disini. Dihatiku.
"Biasa setiap malam minggu seperti ini, coffeeshop ga pernah sepi. Tapi entah kenapa, akhir-akhir ini menjadi sepi." Kata Pak Manager membuyarkan lamunanku.
"Bukankah itu bagus? Tetap mendapat gaji yang sama dan pekerjaan menjadi lebih sedikit, Pak?" Kataku.
"Dan gajimu akan berhenti di 3 bulan berikutnya." Katanya.
Kami berdua hanya tertawa.
"Saya masih ga ngerti, apa maksud kamu kerja disini?" Kata Pak Manager.
"Sebenarnya, saya ingin mencoba untuk lebih mandiri, Pak." Kataku
"Tetapi, rasanya ini terlalu mandiri." Kata Pak Manager.
Sebenarnya, ia tidak cocok dipanggil dengan sebutan 'pak'. Dia lebih cocok dipanggil 'bro' lihat saja. Bahkan kutebak usianya tidak lebih dari 26.
KAMU SEDANG MEMBACA
Complicated
Teen FictionAwalnya hidupnya sangat tenang, seperti es didalam musim salju. Tidak ada yang menggangu. Sampai seorang asing datang didekatku dan berhenti sejenak. Tapi ia mulai merakit sebuah tenda, mencari kayu bakar, dan membuat tungku. Aku mulai terganggu k...