Bab 3

11.2K 1.6K 42
                                    

Sebulan kemudian...

Hari ini teman-temannya mengadakan farewell party, semuanya menduga alasan Rani pulang ke kampung halaman di Medan karena hendak menikah, meski telah berulang kali Rani katakan itu tidak benar. Rani merasa terharu melihat kepedulian rekan-rekan kerjanya, meski Rani tidak bisa dibilang terlalu akrab sampai menceritakan masalah pribadi, namun mereka bekerja dalam suasana kerja yang penuh keakraban.

Sampai di apartemen, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tak seperti biasanya Rani langsung bergegas mandi, wanita itu malah terduduk di sofa dalam suasana begitu hening. 

Sanggupkah dia melepaskan semua ini? Memang tak ada kenangan yang mendalam pada apartemennya, hanya sebuah bangunan yang berhasil dibelinya dengan mengumpulkan hasil keringatnya sendiri. Tempatnya untuk istirahat, sekaligus bersembunyi. Meski rutinitas kerja yang dijalaninya sehari-hari tidak membuatnya merasa begitu bahagia, akan tetapi kewajiban yang dilaksanakannya lebih baik ketimbang memikirkan dosa-dosa yang terus menyiksanya.

Dan sekarang, kenangan pahit itu seolah menyiksa Rani setiap malamnya, sudah sejak pertemuannya dengan Guntur dia jadi sulit tidur. 

“Kenapa kamu melakukan itu padaku? Kenapa harus aku?”

Suara Guntur terus bergema di kepala Rani.

Kenapa? Ya, kenapa? Jawabannya tak lain dan tak bukan adalah karena dulu dia muda dan bodoh. Kenang Rani dengan panas menyengat di pelupuk matanya.

Dahulu, Rani pindah ke kampung Neneknya ketika kelas 5 SD, karena Ayahnya dipindahtugaskan dan menjadi kepala polisi di kecamatan setempat. Rumah mereka di kampung paling besar di antara yang lain, dan menjadi satu-satunya rumah yang berpagar beton. Secara otomatis Rani sama sekali tidak punya teman. Berbeda dengan suasana kota yang memang hidup masing-masing, tetapi di kampung, anak-anak selalu berlalu lalang di depan rumahnya, dan tampak asyik bermain. Apalagi tepat di seberang rumahnya ada lapangan bola besar. Setiap sore, akan banyak orang yang bermain bola, atau jika musim layangan tiba, semua anak-anak akan berlomba-lomba bermain layangan. 

Sementara Rani hanya bisa menyaksikan dari balik jeruji pagar, duduk di ayunan besi. Mamanya tak akan mengizinkannya bermain di sana, lagi pula, tak ada yang Rani kenal, sedangkan Rani bukan anak yang mudah akrab dengan siapa saja. Di rumah dia hanya bermain sendiri, Abangnya yang jauh lebih tua darinya tak pernah bermain bersama. 

Ketika memasuki Sekolah Menengah Pertama, barulah ada dua teman tetangga yang saling bertegur sapa dengannya, itupun karena mereka satu kelas. Dan pada saat itu juga, Rani jadi tahu sebagian besar nama-nama anak sebayanya di kampung.

Termasuk Guntur Pradana Ginting, anak lelaki yang tak pernah absen bermain bola di lapangan. Sekaligus yang sedikit mencuri perhatian Rani, sebab dia paling tinggi di sana. Di tambah kasak-kusuk cinta monyet anak perempuan sekelasnya. Tidak kurang dari tiga orang teman sekelasnya yang menggilai Guntur, sebagai sosok sangar tapi menawan. Dan semakin dilihat, Guntur memang tampan. Tidak putih, tetapi wajahnya enak dilihat, apalagi ketika tersenyum—meski lelaki itu jarang tersenyum. 

Guntur adalah kakak kelas Rani. Dan Rani berhasil mengumpulkan fakta bahwa anak lelaki itu empat tahun lebih tua dari Rani, sebab Rani lebih cepat masuk sekolah, sementara Guntur lebih lama memulai Sekolah Dasar. Dan fakta lain, jika ayahnya seorang preman, dan Ibunya membuka warung tempat orang-orang berjudi dan minum tuak. Oleh sebab itu, Rani yakin seumur hidup pun dia tak akan pernah bertegur sapa dengan Guntur. 

Tetapi waktu itu Guntur lulus di sekolah Negeri paling bergengsi di daerahnya, dan membuat orang-orang bergosip. Akan tetapi tak berselang lama, kampung gempar karena Ayahnya tewas dibacok. Yang membuat Mama Rani semakin mewanti-wanti agar tak mendekati keluarga itu, dan Rani semakin terkurung di rumah.

Jejak DustaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang