Bab 10

12.3K 1.9K 77
                                    

Hari ini, Guntur lagi-lagi tidak berpamitan, pria itu hanya pergi begitu saja. Rani lagi-lagi menggerutu sendiri, atau memang biasanya Guntur begini? Sialnya dia tak bisa menanyakan soal Guntur ke Ika.

Masa dia tidak tahu tentang suaminya sendiri?

Rani mendengus. Sebutan suami itu menggelitik perut Rani. Astaga Rani... pada saat seperti ini kamu masih sempat-sempatnya berpikiran demikian? Sementara Guntur tak pernah memperlakukanmu selayaknya seorang istri. Guntur tidak bisa dikatakan kejam, dia hanya selalu ketus dan marah-marah.

Sampai kapan pria itu berhenti ketus padanya. Tapi tidak ada siapa-siapa yang dia kenal di sini, tidak kah sebaiknya mereka gencatan senjata dan berteman? 

Tubuh Rani menelentang, kamar yang ditempatinya itu sangat gelap, dengan cat yang sudah kusam. Andai saja dia punya waktu untuk ke kota, Rani pasti akan membeli sekaleng cat, lampu, pernak-pernik lainnya agar kamar itu tampak lebih segar. 

Rani memiringkan kepalanya, dan menghidu pipi Melani, jika dia punya kesempatan ke kota dia juga akan langsung membeli set colonge untuk bayi, agar Melani jadi lebih harum. Kasihan sekali Melani, mandi dengan air keruh setiap hari, dan oh... harusnya Rani juga mengasihani diri sendiri, sebab sekarang kulitnya terasa kering hingga Rani selalu mengolesi lotion lebih banyak dari biasanya.

Ada panggilan dari luar. Rani langsung bergegas turun dan melihat siapa itu. 

Lagi-lagi anak kemarin mengantarkan rantang katering. 

Kekesalan Rani jadi bertambah, karena katering langganan Guntur ternyata tidak enak. Entah memang selera Rani yang aneh, tapi yang jelas bagi Rani bumbunya kurang terasa.

Dan semalam dia harus memakan sayur nangka muda sampai malam. Lalu hari ini?? Rani langsung meletakkan ke dapur dan membuka isinya, sambal ikan dan sayur daun ubi. Napas Rani kontan terhela kasar. Kenapa dia tak mulai masak sendiri? Sejak semalam dia sudah memperhatikan alat masak di dapur Guntur, tidak selengkap yang di apartemennya, tapi masih bisa dia gunakan dengan syarat mencuci ulang semuanya—wajah Rani langsung berubah kecut. Tapi demi perutnya... Okelah, lagipula Melani tak terlalu merepotkan.  

Dan sepintas Rani punya ide lain. Senyumnya langsung mengembang. 

Rani menunggu kedai benar-benar sepi baru mengendap masuk dari pintu samping dengan sedikit hati-hati, karena kedai yang kecil itu memuat banyak barang. Rani bukan bermasalah dengan banyaknya barang, akan tetapi dia sangat bermasalah dengan barang-barang berdebu di sana. 

“Eh... Kak Rani...”

Bibir Rani langsung menipis sebab Ika begitu cepat melihatnya, meski wanita itu tengah menimbang gula. 

Dalam sekali obrolan saja, Rani sudah bisa menduga Ika tipe manusia yang hanya manis di mulut. Dan sifat ingin tahunya itu selalu ingin Rani sela, hanya saja mengingat dia orang baru di sini, Rani berusaha menahan diri agar tak kena tegur Guntur. 

Rani hanya menyengir sesaat, sebelum melangkah semakin ke depan, niatnya untuk menuju sayuran langsung teralihkan dengan melihat banyaknya botol besar Aqua di kedai itu, rasanya seperti melihat berlian, senang bukan kepalang. Syukurlah, stoknya masih banyak, akan tetapi mengingat isi dompetnya, wajahnya kembali tertekuk. Ah, tidak, dia masih bisa membeli sepuluh botol lagi. Tapi setelah itu?? Rani kesal dengan jawaban sisi batinnya yang lain, bagaimana pun dia harus berhasil membujuk Guntur mengantarnya ke ATM. Harus!

“Mau ngapain Kak?” tanya Ika lagi, memutuskan Rani dari lamunannya.

“Eng... ikan masih ada?”

Ika langsung berdiri dari kursi kecilnya. “Ada sih, dikit lagi ini. Tapi ngapain Kakak cari ikan?”

Rani serta-merta memandang malas, dan langsung melihat ke tong-tong kecil di hadapannya. Ada cumi, batinnya.

Jejak DustaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang