Pernikahan mereka jauh dari kata mewah bahkan hanya dilakukan di masjid setempat yang bangunannya sangat kecil. Dihadiri para tetua juga bapak-bapak yang baru selesai salat jum’at. Namun, rasa-rasanya Rani tak berhenti berkeringat dingin, dia sangat gugup, ditambah dengan banyaknya orang yang mengintip di luar masjid, seolah pernikahan mereka adalah sesuatu hal yang luar biasa di kampung itu.
Rani menatap sebuah cincin kebesaran di tangannya, yang diberikan Guntur sebagai mahar, dan terus dimainkan Rani sepanjang doa berlangsung. Rani semakin tak tenang, kapan semua ini berakhir, dan tak lama doa berakhir.
“Kamu lihat seorang Ibu berpakaian warna hijau.” Rani langsung mengangkat wajahnya dan mencari-cari. “Bayi yang digendongnya, adalah Melani. Bayi yang harus kamu urus mulai besok.”
Mata Rani kontan membeliak, tak menyangka anak yang dimaksud Guntur adalah bayi baru lahir yang begitu mungil. Rani belum pernah punya bayi, apa dia sanggup mengurusi seorang bayi??
“Perlakukan Melani seperti anakmu. Kalau kamu berbuat buruk padanya, aku akan memperlakukanmu dengan sikap yang lebih buruk,” bisik Guntur.
Lalu Guntur mengisyaratkan agar Rani menyalami semua yang ada di sana dengan sopan—meski tanpa bersentuhan tangan.
“Kamu yakin menipu orang satu kampung?” bisik Rani merapatkan tubuh di belakang Guntur.
“Aku tidak menipu. Pernikahan kita sah secara agama.”
“Iya, tapi—“
Rani tak bisa melanjutkan ucapannya sebab Guntur langsung menjauh dan berbincang dengan warga setempat.
***
Rani terbangun dengan napas sesak, peluh mengaliri pelipisnya, lehernya basah. Dia bermimpi buruk, dan kembali terbangun dengan kepala begitu berat. Mimpi buruk bukan hal asing baginya, dia sering bermimpi Guntur yang tiba-tiba datang meneriakinya, memakinya, hendak menuntut balas. Namun, kali ini Rani memang tetap memimpikan Guntur, bedanya, dia memakai gaun pengantin, berada di tepi jurang, dan Guntur dengan marah tiba-tiba mendorongnya begitu saja.
Rani menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusap keringat di leher dengan punggung tangannya. Rani menormalkan napas beberapa saat dan berhasil kembali ke kenyataan saat ini. Guntur, di mana pria itu? Dan jam berapa sekarang? Kenapa begitu gelap? Tadi mereka pulang ketika hari sudah sore dan Rani berjibaku menghapus tebalnya make up di wajahnya, juga rambutnya yang seperti sarang burung. Rani bahkan memaksa memborong semua Aqua untuk dia keramas, dan ketika hendak membayar Guntur berlalu begitu saja.
Lalu entah kapan tepatnya, dia ketiduran.
Atau ini bukan mimpi? Mungkin saja Guntur merencanakan sesuatu untuk berbuat buruk padanya.
Rani turun dengan tergesa, jantungnya berdetak sangat cepat, dan ketika tirai pintu tersibak kasar, dia justru mendapati Guntur duduk di lantai, tengah memasangi kembali kipas angin yang telah bersih.
Bahu Rani langsung merosot bersandar ke dinding di belakangnya.
Guntur mengernyit saat menoleh, namun urung bertanya, dan berusaha mengabaikan dengan kembali pada pekerjaannya.
Pelupuk mata Rani terasa panas. Guntur benar-benar membersihkan kipasnya.
Rani menatap begitu lama. Membuat Guntur semakin tak nyaman.
Bibir Rani bergetar, ketika bertanya. “Kamu menginginkanku di sini hanya untuk mengurus bayimu? Begitu?”
Guntur tak langsung menjawab. Dahinya berkerut dalam, “Sudah kukatakan sebelumnya.”
Rani memandang dengan sorot getir. Guntur baik ke semua orang kecuali dirinya. Guntur pasti menginginkan yang terbaik untuk putrinya. Dan jika benar dugaan Rani bahwa istri Guntur telah meninggal, kemungkinan Guntur sangat mencintainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Dusta
RomanceGuntur Pradana Ginting pernah menjadi korban salah tangkap. Dan itu disebabkan oleh anak dari kepala polisi di desanya yang mengaku telah diperkosa oleh Guntur. Guntur membenci wanita yang bernama Aulia Maharani itu. Sepuluh tahun berlalu ia ingin m...