Bahu Rani langsung menegap begitu mendapati lampu-lampu dari rumah-rumah dan ujung pandangannya. Dadanya langsung membusung, dan matanya berbinar. Seperti menemukan peradaban.
Mereka semakin dekat, dan batin Rani semakin dipenuhi kelegaan. Jalanan mulai tampak lebih rata, tidak terlalu bergelombang seperti sebelumnya, meski belum aspal. Dan rumah-rumah mulai dilewati, rata-rata memiliki halaman luas, ya pemandangan seperti ini tak asing bagi Rani ketika dulu tinggal di kampung. Lumayan. Paling tidak di sini ada kehidupan, meski dari yang Rani hitung jumlah bangunan tidak mencapai 50.
“Itu rumahmu?” tanya Rani saat mobil melambat, dan akhirnya berbelok ke sebuah halaman yang luas.
Guntur tidak menjawab. Hanya melirik gestur tubuh Rani yang memajukkan badannya dengan penasaran. Sementara Rani sendiri masih mengamati dengan bola mata melebar ke pemandangan malam yang sangat senyap di depannya. Oh... setidaknya jika itu benar rumah Guntur, rumah itu adalah rumah beton yang terbesar dibanding rumah-rumah lain yang kebanyakan beton separo, sementara atasnya rata-rata papan atau anyaman bambu. Tadinya Rani skeptis, apa ada kehidupan dari perjalanan yang entah ke mana akan dituju itu.
Tak lama mesin berhenti. Dan kelegaan membanjiri Rani, karena rumah yang diduganya itu benar rumah Guntur. Ada kios di depannya, juga garasi. Rumah itu memiliki teras luas dengan pilar-pilar penopang, berlantai keramik meski sudah kusam dan cat rumahnya sudah pudar. Di teras ada bangku rotan panjang yang juga sudah pudar. Dugaan Rani, cat rumah ini tak pernah diperbaharui sejak dibuat.
Guntur turun, dan kali itu Rani ikut turun dengan gerak lebih cepat. Pandangannya mengedar ke sekitar. Jarak satu rumah ke rumah lainnya tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Mata Rani semakin menyipit ke arah sisi kanan jalan. Sepertinya di sana terdapat lebih banyak rumah lagi. Sepertinya. Lalu... satu hal menyentak pemikirannya. Salah besar jika Guntur anggap dia bodoh.
Rani langsung berjalan tergesa ke arah Guntur yang menurunkan barang-barangnya.
“Bukankah itu jalan menuju jalanan lebih besar? Sepanjang jalan tadi tidak ada rumah-rumah hanya ladang, rawa, dan pohon sawit. Memangnya jalan tadi jalan utama?” cecar Rani.
Tapi pria itu tampak santai saja.
“Kenapa tidak jawab? Kamu sengaja membohongiku??”
Guntur meliriknya tajam, dan seketika itu Rani menelan ludahnya.
“A-aku yakin jalan yang tadi itu jalan yang salah. Kamu sengaja membawaku melewati jalan itu untuk menekanku. Iya kan??”
Namun, pria itu justru tampak tak peduli, dan malah menuju pintu rumah dan memutar kunci pintu.
Rani mendengus sangat kesal serta jengkel. Dia sudah sangat lelah. Dan pria itu sukses membuatnya emosi.
Tak lama lampu-lampu hidup. Sambil menggeram, Rani terpaksa menyeret koper dan tasnya masuk.
Pintu terbuka. Rani langsung penasaran dan mengedarkan pandangannya. Kelegaan Rani sebelumnya sepertinya terlalu dini, ketika melihat dalam rumah yang jorok dan lantainya berdebu. Oke, sabar Rani, itu bisa dibersihkan.
“Di mana anakmu?”
“Sedang dititipkan,” sahut Guntur singkat melepaskan jaketnya ke kursi.
Guntur membuka kain pintu kamar dan menguak daun pintu, Rani langsung mengikutinya dan bahkan tak sanggup menghela napasnya. Tumpukan pakaian, kain seprai yang kusut bukan main, kain jendela yang tak terpasang dengan benar, lalu ada gulungan kain di atas dinding—oh mungkin itu kelambu.
“Be-berapa lama kamar ini tidak ditempati?”
Guntur hanya melirik Rani sesaat dan kembali keluar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Dusta
Lãng mạnGuntur Pradana Ginting pernah menjadi korban salah tangkap. Dan itu disebabkan oleh anak dari kepala polisi di desanya yang mengaku telah diperkosa oleh Guntur. Guntur membenci wanita yang bernama Aulia Maharani itu. Sepuluh tahun berlalu ia ingin m...