Bab 9

11.5K 1.9K 104
                                    

Rani mendengar suara berisik. Dan ketika terbangun, jam di dinding menunjukkan pukul setengah empat.

Ada apa? Rani langsung tersentak bangun, kenapa dia tak henti-hentinya bangun dalam keadaan terkejut di sana. 

Begitu keluar tak ada siapa-siapa. Suara berisik berasal dari luar, dan tak lama terdengar suara mesin mobil. Rani langsung membuka pintu depan dan mendapati Guntur sudah naik ke dalam mobilnya, sorot lampu membuat Rani mengernyit. Ada satu lelaki yang tak dikenali Rani duduk di sebelah Guntur. Memang kemarin sore ada banyak orang yang mengantarkan goni-goni ke teras rumah Guntur. Apa Guntur bermaksud mengantarkan barang-barang itu? Ke mana? Dia bahkan tak bisa melihat jelas apakah Guntur menatapnya atau tidak. Namun, tak ada adegan Guntur turun dan mengatakan sesuatu, pickup hanya langsung berputar ke jalanan berbatu. Dan menjauh. Semakin menjauh.

Sialnya, Rani terus melangkah dengan sandal rumahnya hingga ke ujung teras. Seperti ada yang meremas hatinya. Seharusnya itu bukanlah hal besar, Guntur telah terbiasa cuek dan memandangnya dengan tatapan tak bersahabat, bahkan jika dibilang Rani harusnya bersyukur pria itu tak membuatnya mati kelaparan atau mendorongnya ke jurang seperti mimpinya.

Hanya saja, entah mengapa Rani tetap terganggu dengan sikap dingin Guntur, dari dulu pria itu memang tak pernah meliriknya, meski Rani sangat tahu Guntur bisa dengan mudah bercanda dan tertawa dengan teman-temannya yang lain. Rani menggigit bibir bawahnya, apa ambisi masa remajanya untuk mendapat perhatian Guntur masih demikian besar? Tidak. Sadarlah Rani! Pria itu kini hanya sangat membencimu, dan mungkin jijik padamu. Terimalah nasibmu Rani. 

Tak bisa meredam kekalutan hatinya dalam suasana yang begitu sunyi, Rani segera masuk ke dalam dan mengunci pintu. 

Sampai di kamar Rani tak lagi bisa terpejam. Dia tidak mungkin lagi bisa tertidur. Rani memainkan ponsel dan membaca beberapa artikel, yang terkadang terkendala susah loading. Kemudian dia teringat sesuatu, dia bahkan tidak mempunyai nomor telepon Guntur. Hal itu membuat Rani tambah cemberut. 

Rani mencampakkan ponselnya, dan menoleh pada Melani. Mata bayi itu terpejam. Apa Guntur terlalu berduka karena kehilangan Ibu Melani? Rani melamun menopang dagu dengan tangannya yang terlipat.

Namun tak lama Melani terbangun dan merengek.

“Haus?” gumam Rani, tapi sepertinya tidak, karena Rani mencium bau lain. 

Wajah Rani langsung berubah masam, Melani pup ternyata.

Rani menarik popok Melani sambil meringis dan menahan napas. Lalu membersihkan pup dengan kain lainnya, Rani butuh lebih banyak tisu, tisu basah, dan lebih banyak tetek bengek yang lainnya lagi. Keadaan ini memang sedikit banyak menyiksanya. Selesai mengganti popok Melani, Rani langsung berlari ke dapur dan menyiram banyak air membersihkan pup Melani. 

Masih pukul lima pagi, kapan kedai itu buka, dan Rani berharap ada tisu basah di sana, sebab tisunya sudah habis. 

Saat kembali ke kamar, Melani masih tenang, meski tidak tertidur. Bi Sri benar, Melani bayi yang baik budi. 

Rani kembali keluar kamar dan membuka pintu lebar. Langit sudah mulai kemerahan. Sebaiknya ada hal yang lebih berguna yang bisa dilakukan Rani selagi Melani tenang. Rani kemudian ke belakang dan mengambil sapu. Dia sempat mengintip dua kamar lainnya semalam, dan sama berantakannya. Mungkin besok dia akan mulai membersihkannya. Hari ini tugasnya banyak, nyapu, ngepel, cuci pakaian.

“Rajin banget sih kak.”

Rani tersentak, dia sedang mengepel lantai menuju bagian teras, dan mendongak mendapati Ika di sana, Rani hanya tersenyum tipis, Ika kemudian menuju pintu samping kedai.

Jejak DustaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang