“Li... ada tamu mau ketemu kamu tuh di ruang tunggu.”
Aulia Maharani staf personalia di sebuah perusahaan telekomunikasi nomor satu di Indonesia itu mengangkat wajahnya kepada Feli si resepsionis. Tak ada dugaan apa pun, pikirannya penuh dengan pekerjaan yang harus diselesaikan sementara ada orang yang mengusik waktunya.
Entah siapa pun itu yang menunggunya, Rani perlu meyakinkan orang itu untuk menemuinya dengan cepat. Rani menyimpan dan menutup semua dokumen pekerjaannya lalu membiarkan komputer hanya dalam tampilan wallpaper sebelum bergegas mengambil ponsel dan menemui siapa pun... bodohnya kenapa dia tak menanyakan nama siapa yang akan menemuinya kepada Feli tadi?
Hanya saja, Rani terus berjalan keluar dari kubikelnya, melintasi meja resepsionis dan menuju ke sofa yang berjajar di salah satu sudut bangunan...
Langkah Rani langsung terhenti.
Tamu. Tamu? Ulangnya dalam hati, sekarang dia merasa begitu tolol karena tak menanyakan siapa nama yang hendak menemuinya.
Ada seorang pria yang duduk dengan wajah tak bersahabat di sana.
Kenapa dia di sini? Kenapa dia bisa ada di sini??
Rani kian pucat pasi dengan kaki lemas-selemasnya. Pria itu merupakan kejutan paling tidak dia harapkan. Tubuhnya mematung dan membeku detik itu juga. Rani merasa kiamat menghampirinya. Meski dia tak tahu rasanya terlindas truk, tapi rasa-rasanya tak akan jauh berbeda, bedanya hanya saat ini dia masih sadar, atau mungkin sebentar lagi dia akan pingsan.
Dengan tubuh gemetar Rani memundurkan langkahnya. Dan kembali menjadi pengecut? Panas menyengat di pelupuk mata Rani. Sesak itu memenuhi rongga dadanya.
Nadi Rani berdenyut keras. Demi Tuhan dia telah bersusah payah untuk mencapai titik kehidupannya saat ini. Berusaha melupakan masa lalu dan hidup dengan bagian dirinya yang berbeda sekarang, memangkas sebagian dirinya di masa lalu, rahasia besarnya, kesalahan fatalnya.
Tangan Rani menjadi sangat berkeringat. Dia menjadi demikian ling lung, tak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Bertemu kembali dengannya mungkin adalah hukuman mutlak yang harus dijalaninya.
Bagaimana cara Rani menghindarinya?
Otak Rani buntu. Dia tak mungkin bisa kabur tanpa ketahuan jika—seorang Guntur Pradana Ginting masih ada di sana. Pria itu mengingatkannya pada sebuah dosa yang tak mampu Rani kubur ataupun lupakan. Kesalahan, yang meskipun Rani meminta maaf hingga bersujud belum tentu dapat menebus segalanya.
Napas Rani mulai terputus-putus. Cepat atau lambat. Suatu saat pria itu akan datang menuntut balas.
Kuduk Rani semakin meremang. Apa yang diinginkannya? Uang? Rani mulai menghitung tabungan di dalam kepalanya, dan beberapa aset yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Jika ditotal mungkin mencapai dua miliar, tetapi apakah Bang Fadlan akan membiarkannya menjual semua itu tanpa memulai perseteruan dengan Guntur? Rasanya tidak mungkin.
Kepala Rani semakin berat dan sepertinya dia akan pingsan sekarang.
Tidak. Pria itu tidak boleh menekannya. Dia punya Abang yang seorang perwira kepolisian, dan pasti akan membantunya mati-matian. Rani harus berdiri tegap dan menanyakan apa maksud dan tujuan pria itu datang menemuinya. Jika memang tujuannya adalah uang, Rani akan mengusahakannya.
Satu sisi Rani menguatkan dirinya untuk bertahan dan menghadapi apa pun badai yang akan menghantamnya, namun sisi dirinya yang lain menginginkannya untuk melarikan diri secepat mungkin.
Di saat hati Rani dipenuhi kekalutan, di saat itu pula pandangan itu akhirnya menangkap sosok Rani. Bahu itu langsung menegap dan kemarahan jelas kentara di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Dusta
RomanceGuntur Pradana Ginting pernah menjadi korban salah tangkap. Dan itu disebabkan oleh anak dari kepala polisi di desanya yang mengaku telah diperkosa oleh Guntur. Guntur membenci wanita yang bernama Aulia Maharani itu. Sepuluh tahun berlalu ia ingin m...