Bab 5

11.2K 1.7K 44
                                    

Rani merasakan tubuhnya capek luar biasa, terutama area pinggang dan punggungnya. Seperti habis lari marathon puluhan kilo. 

Rani mengamati ke luar jendela, mereka telah sampai di Pekanbaru. Artinya masih ada semalaman lagi perjalanan sebelum sampai ke Medan.

Dan sekarang Rani merasakan lapar luar biasa. Selama perjalanan, dia tak turun untuk makan di warung nasi, dia hanya turun untuk ke minimarket dan Guntur mengabaikannya begitu saja. Rani hanya terus-menerus menyantap roti, sosis, susu yang dibelinya dari minimarket tiap kali bus berhenti. Kali ini dia harus makan nasi, perutnya benar-benar terasa perih. 

“Ayo turun.”

Tanpa Guntur perintah pun kali ini Rani berniat turun. Hanya saja, kali itu Rani tetap menatap heran, kenapa Guntur akhirnya menyuruhnya turun? Sebelum-sebelumnya dia hanya membiarkan Rani begitu saja, mau Rani turun atau tetap di bus pria itu sepertinya tak peduli. Dengan dahi berkerut Rani mengikuti langkah Guntur turun dari bus. Mata Rani terbelalak melihat barang-barangnya diturunkan kernet bus. Apa mereka akan berpindah bus?

“Kita mau pindah bus?”

Pertanyaan Rani tidak digubris oleh Guntur. Pria itu hanya dengan segera menarik barang-barang Rani ke kursi tunggu agar tak menghalangi kendaraan lain yang akan lewat.

“Tunggu di sini,” ucap Guntur.

“Lho, kenapa? Bus yang baru belum datang?”

“Bukan.”

“Jadi??”

“Kita tidak akan ke Medan.”

Rani langsung melotot. “Jadi kita ke mana??”

“Kamu akan tahu nanti.”

“Aku harus pergi sebentar.”

Rani bertambah kalut. “Kamu mau ke mana??”

“Ada yang mau kuambil dan kutemui. Tunggu di sini.”

“Tapi—“ Rani menatap panik. “Aku tidak tahu daerah ini, bagaimana kalau terjadi sesuatu??”

“Berapa usiamu?” sindir Guntur.

Rani berdesis resah. “Sebentar yang kamu maksud itu berapa lama?”

Pria itu tidak menjawab. Dan ketika Guntur hendak melangkah Rani menarik lengan jaketnya. 

“Kamu sengaja meninggalkanku di sini??”

Guntur mendengus. “Bukankah ini kesempatan bagus bagimu untuk kabur,” ejek pria itu, lalu membalikkan badan berusaha tak mempedulikan Rani.

Rani terduduk lemas. Dia sangat asing dengan tempat itu. Rani merasa dirinya seperti terlunta-lunta, dan sialnya matanya mulai memanas, seolah dia anak kecil yang tertinggal sendiri. 

Bermenit-menit berlalu dan perut Rani semakin terasa perih. Dia mengganjal perut dengan satu roti yang tersisa. 

Rani terus melirik jam tangannya, dan berusaha tak menjadi perhatian orang-orang di sekitarnya. Meski beberapa tetap ada yang menatapnya dengan pandangan lain. Rani sudah 28 tahun, dan dia tak pernah setakut ini, padahal dia sering berpergian sendirian. Mungkin karena kali ini dia tak tahu ke mana arah tujuannya.

Atau sebaiknya dia kabur saja? Bukankah tadi Guntur justru mengejeknya. Pria itu pintar sekali mengintimidasi. 

Rani menggigit-gigit bibir bawahnya. Astaga... sudah dua puluh menit lebih. Sebenarnya ke mana pria itu! Rani mulai kesal. Kandung kemihnya juga mulai terasa penuh, sebab sejak tadi Rani terus menerus minum.

Bahu Rani serta-merta terangkat saat akhirnya melihat sosok Guntur, tatapannya seperti menemukan sebuah oase.

Tetapi ketika langkah itu semakin dekat. Rani menatap begitu kesal dan berdiri. “Aku lapar. Sesak buang air kecil. Dan kamu baru datang setelah setengah jam,” sindir Rani, dia tidak bermaksud mengeluh, tapi kenyataannya dia memang tersiksa dengan kondisi perut serta kandung kemihnya.

Jejak DustaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang