Kejutan

7K 373 2
                                    

"Permisi, Mbak ada paket untuk, Mbak!" ucap Mas kurir, sembari menyerahkan sebuah paket berukuran persegi.

"Pa-paket?" tanyaku heran. "Rasanya saya tidak pernah memesan barang!" Tanganku terulur menerima paket yang diberikan Mas kurir.

"Saya hanya mengantarkan sesuai alamat pesanan, Mbak," balasnya sambil tersrnyum. "Silahkan tanda tangan di sini, Mbak," sambungnya lagi sambil memberikan sebuah surat tanda terima paket.

Aku pun menanda tangani kertas yang disodorkan Mas kurir tersebut. Setelahnya Mas kurir pun pamit. Karena rasa penasaran aku segera membuka paketnya.

'Hallo, Mbak apa kabarmu? Aku ingin mengembalikan jam tangan Mas Arya, kemarin malam ketinggalan di kamarku, setelah kami memadu kasih'

Seketika rasanya darah di kepalaku mendidih, membaca pesan ja*ang itu. Bre*gsek beraninya dia mengirim ini untukku. Aku meremas kertasnya lalu melemparnya dengan kuat.

Kedebug!

"Aww ...," pekikku.

Tanganku menghantam pintu kamar, seketika aku pun terbangun. Entah sudah berapa lama aku menangis hingga akhirnya tanpa sadar tertidur di lantai depan pintu kamar, kulihat tanganku sedikit memar dan perih. aku melirik jam yang terpasang di dinding pukul menunjukkan 22.30 WIB. Ternyata tadi cuma mimpi.

Aku memandangi sekeliling, suasana tampak sepi dan sunyi, tak ada lagi Mas Arya yang biasanya tidur di ranjang tempat kami melepas segala kepenatan. Air mataku kembali menetes, kenapa merindu ba*ingan romantis itu, sesesak ini. Sepertinya Mas Arya benar-benar sudah pergi, begitupun dengan Mbak Elma. Aku berusaha bangkit dan menekan handle pintu. Rasa haus menuntun langkahku menuju dapur.

Kulihat meja makan sudah terlihat rapi, mungkin Bi Jana yang telah membereskannya. Aku meraih teko yang terletak di atas meja, lalu menuangkan air ke dalam gelas dan meneguknya perlahan. Lalu, menghempaskan bokongku di atas kursi.

Merenungi pristiwa yang tengah menerpa hidupku. Tuhan, rasanya begitu berat. Aku memijit pelipis, kepalaku terasa berdenyut, memikirkan beban rumah tangga yang baru saja kulayarkan, kini tengah diterpa gelombang dan badai.

***

Aku terbangun saat jam beker berdering nyaring di atas nakas samping kanan tempat aku tertidur. Kupandangi tempat biasa Mas Arya tidur hanya ada bantal dan guling. Aku tak tau ke mana perginya Mas Arya setelah kuusir tadi malam, ah sudahlah buat apa aku mempedulikan seseorang yang telah mematahkan hatiku.

Aku melangkahkan kaki menuju kamar mandi, membersihkan diri dan menggosok gigi. Setelahnya seperti biasa aku melaksanakan dua rakaat.

Bi Jana tengah berjibaku di dapur, perempuan 59 tahun itu, sudah lama mengabdi pada keluarga kami, setelah Papa meninggal Bi Janalah yang setia merawatku. Sementara Mama sejak aku berumur 7 tahun ia memilih pergi dengan laki-laki lain. Mengingat itu membuatku sesak. Sejak itu pula aku tak tau ke mana rimbanya.

"Pagi, Bi," sapaku.

"Eh, Non Aini ngagetin, Bibi aja," protes Bi Jana sambil mengelus dada. "Non!" seru Bi Jana, wajahnya terlihat ragu.

"Iya, Bi ada apa?" tanyaku balik.

"Anu, Non semalam Den Arya pamit pergi bawa koper gede, katanya mau pamit sama Non. Tapi, Nonnya udah tidur, dan Den Arya juga bilang titip Non. Wajahnya terlihat sedih. Memangnya Den Arya mau pergi jauh, Non?" tanya Bi Jana serius, wajahnya juga terlihat sedih.

Aku hanya tersenyum dan menanggapi sekenanya, aku belum siap menceritakan semuanya sama Bi Jana. Takut perempuan yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri itu syok.

"Oh iya, Bi, aku mau ke supermarket, Bibi minta di beliin apa?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Gak, Non Bibi gak butuh apa-apa," jawabnya, sambil tersenyum, sementara tangannya dengan cekatan mengerjakan pekerjaan rumah.

"Yakin?" tanyaku, sambil memotong roti sand*ich di atas piring.

"Yakin, Non."

"Ya sudah, aku pergi dulu ya, Bi," pamitku.

"Iya. Hati-hati, Non," balasnya dengan rasa khawatir, laksana khawatirnya seorang ibu pada anaknya. Tetapi, Mama yang telah melahirkanku, pernahkan dia mengkhawatirkanku? Ah entahlah.

Aku mengeluarkan mobil dari garasi menuju supermarket kota, sambil jalan-jalan merefreshing pikiran.

Aku memilih-milih beberapa snack untuk cemilan, aku menggeleng kuat, aku harus diet tidak boleh banyak ngemil. Eh, tapi dikit gak apa-apakan? Akhirnya aku memasukkan beberapa snack saja ke dalam keranjang belanjaan tak lupa aku juga membelikan Bi Jana peralatan untuk Mandi. Saat sedang sibuk memilih beberapa roti, datang seorang perempuan modis ala perempuan kota metropolitan. Ia melepas kacamata hitamnya.

"Pantas saja, si Arya memilih perempuan yang lebih fresh, ternyata istrinya tidak bisa menyenangkan hati suami," ucapnya sambil berdiri di sampingku.

Aku melirik samping kiri, kanan, depan dan belakang tak ada orang itu artinya perempuan ini sedang berbicara denganku.

"Oh, iya lebih baik kamu pergi jauh dari kehidupan Arya, Arya berhak mendapatkan yang lebih," lanjutnya lagi.

Aku menghela napas, perempuan ini benar-benar tak tau malu, ingin rasanya kujambak lagi rambutnya seperti kemarin.

"Arya, bilang dia sangat mencintaiku. Kami saling mencintai," lanjutnya lagi, sambil memain-mainkan kacamata yang dipegangnya.

Oh astaga perempuan ini membuatku semakin emosi. Aku mendekat, mengguncang kepalanya, barangkali otaknya ketinggalan. Seketika membuatnya menjerit.

"Awww ... Dasar perempuan gi*a," ucapnya sambil tangannya melepaskan tanganku, setelah lepas ia merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, dan menjauh. aku tertawa puas.

"Pergilah kau pencuri!" pekikku.

Matanya melotot menatap tak suka padaku. "Kau ...," ucapnya, telunjuknya mengarah padaku.

"Apa? dasar pencuri suami orang." aku melempar roti yang tadi ku pegang ke arahnya, membuatnya semakin geram. Dengan menghentakkan kaki akhirnya ia pergi meninggalkanku.

Oh shit!

Pagi-pagi perempuan itu sudah mengejutkan dan membuat bad mood, lihat saja aku tidak akan membuat kalian bersenang-senang dengan aku menyerah untuk merelakan Mas Arya pergi. Tidak akan!

NODA DALAM PERNIKAHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang