Balasan untuk Pengkhianat

13.6K 387 14
                                    

Belum hilang rasa keterkejutan dari wajah Mas Arya, atas kebohongan Anita selama ini, aku sudah memberinya sebuah kejutan baru dengan memberinya surat. Aku meletakkannya di atas meja persegi ruang tamu saat Mas Arya tengah duduk termenung.

"Apa ini, Ai?" tanya Mas Arya ia mendongakan wajahnya menatap lurus ke mataku.

"Baca saja, Mas," ucapku pelan.

Tangan Mas Arya mulai membuka lembaran surat tersebut dengan pelan, setelahnya matanya mulai berkaca-kaca.

"Baiklah, kalau itu maumu!" balas Mas Arya pelan. Saat ini tidak ada lagi penolakan darinya, mungkin ia menyadari betapa terlukanya hatiku atas tindakan bodohnya.

Ia pun bangkit, perlahan menaiki tangga menuju lantai atas, entah apa yang akan dilakukannya. Tidak lama kemudian, ia turun dengan membawa koper.

"Jaga dirimu baik-baik, Ai!" pelan Mas Arya berucap. Rasanya hatiku, terenyuh. Ah tidak! Aku tidak boleh luluh.

"Tentu, aku akan menjaga diriku dengan baik," tegasku, aku memalingkan wajah tak berani menatapnya. Jika benar apa yang dilakukan Mas Arya ini adalah sebuah keterpaksaan, mungkinkah aku telah aniaya?

Sekuat hati aku menahan, melepas kepergian Mas Arya dari rumah ini. Aku tidak mengantarnya keluar, hanya diam menatapnya dari ruang tamu.

"Mas," panggilku.

Mas Arya menoleh, "Jangan lupa tutup gerbangnya kembali," ucapku dengan menahan sesak, ah kenapa begitu berat melepas kepergiannya. Mas Arya hanya tersenyum, tanpa berkata sepatahpun.

***

Menjelang pagi, aku tengah menyeduh coklat, sementara Bi Jana tengah membuat sarapan. Sekarang rumah ini kembali sepi hanya tinggal aku dan Bi Jana.

Tiba-tiba Mbak Elma datang, ketukan high heelnya begitu terdengar nyaring berpadu dengan lantai mar-mer, seperti orang yang sedang ingin marah.

"Heh! Aini maksudmu apa ingin meminta cerai dari Arya?" Datang-datang Mbak Elma langsung marah-marah sambil berkecak pinggang.

"Duduklah, Mbak hari masih pagi. Jangan marah-marah nanti cepat tua!" ucapku seramah mungkin.

"Tidak perlu!" ketusnya, "Kamu itu benar-benar perempuan gak tau diuntung ya, Aini. Arya sudah susah payah mengelola perusahaanmu, tapi apa balasanmu? Malah minta cerai."

"Perlu kamu ketahui, Arya sudah bersusah payah demi memajukan perusahaanmu! kamu taukan kalau kalian bercerai, Arya punya hak dalam harta yang kalian kumpulkan!" Pagi-pagi Mbak Elma datang ke sini ternyata bukan karena sungguhan membela adiknya, tetapi malah mempermasalhkan harta gono-gini.

Aku menghela napas. Lalu memberikan secangkir coklat ke Mbak Elma,

"Minumlah, Mbak! Biar, Mbak lebih tenang." Aku masih tetap bersikap ramah, tetapi tetap ditanggapi dengan ketus.

"Tidak usah!"

"Mbak Elma tenang saja, aku akan mengurus semuanya, dan Mas Arya pasti akan mendapat bagian dari harta kekayaanku." ucapku santai sembari menyesap coklatnya.

Seketika Mbak Elma terdiam raut wajahnya berubah tak enak, pelan ia mendudukan pantatnya di kursi yang berhadapan denganku.

"Apa kamu serius, Ai?" tanyanya ragu-ragu.

"Tentu," balasku singkat.

"Em, Mbak minta maaf ya, karena telah salah menilaimu. Em ... Kalau bisa kirim ke nomor rekening Mbak saja ya!" pelan Mbak Elma berucap.

'Dasar linta darat'

Aku hanya menanggapinya dengan tersenyum, sungguh perempuan tak ada hati. Kau pikir akusudi membaginya denganmu, Arya saja tidak pernah mempermaslahkannya, kenapa aku harus bersusah payah mengabulkan keinginannya.

***

Hari ini sidang perceraianku dan Mas Arya, aku sudah memantapkan hati agar selalu kuat dan tegar menata hidup ke depannya. Masalah ini, memberi pelajaran tersendiri untuk lebih hati-hati dalam memberi kepercayaan terhadap pasangan. Kau harus percaya pada pasangan, tetapi tak ada salahnya tinggalkan separuh rasa curiga, dan waspada, jika sikapnya mulai berubah.

Saat diri ini tengah bersiap, ponselku bergetar sebuah pesan masuk dari Hardi.

[Tetap semangat! apa pun yang terjadi. Aku di sini selalu ada kapan pun kamu butuh] aku tersenyum, tetapi aku sengaja tidak membalasnya.

Baru saja aku meletakkan ponsel, sudah berdering lagi kali ini panggilan masuk dari Angga. Aku menggeser gambar telpon warna hijau, telpon pun tersambung.

"Hallo, Ngga ada apa?" tanyaku.

"Sidang perceraiannya jam berapa?"

"Sekitar jam 9 nan, kenapa?"

"Oke, nanti gue kasana siapa tau setelah sidang perceraian usai, lo butuh bahu buat bersandar," Ledeknya, lalu ia terkekeh. "Aku cuma bercanda, Ai," lanjutnya lagi.

Senyumku terkembang, aku tau Angga sedang tidak melihatku. Tetapi, aku merasa senang.

"Iya, aku ngerti, ya udah aku mau siap-siap," jawabku. Lalu, mematikan ponsel dan kembali merapaikan penampilanku.

Aku terpaku menatap diri dalam pantulan cermin, sejenak memoryku memutar ulang kenangan bersama Mas Arya. Betapa bahagianya saat itu, kemudian hancur karena tiba-tiba datang seseorang yang tidak pernah diharapkan. Aku menghela napas, kemudian perlahan membuangnya.

Aku melirik arloji di pergelangan, waktu sudah menunjukkan pukul 08 lebih 20 WIB, aku segera bergegas meninggalkan rumah menuju gedung Pengadilan Agama. Rasanya aku tidak pernah menyangka, jika pernikahanku harus berakhir di sini.

Pelan aku melangkah memasuki gedung, ternyata Mama dan Hani sudah ada di sana, mereka menyambut kedatanganku, memberi semangat dan kekuatan hati agar aku tetap baik-baik saja, Aku mengangguk pelan, siap menerima resiko dari keputusan yang telah kuambil.

Ketukan palu hakim di depan kami terdengar lantang, menjadi saksi bahwa aku dan Mas Arya telah resmi bercerai, dan menyandang status janda dan duda. Kulihat Mas Arya tertunduk lesu, wajahnya penuh penyesalan, setelah kehilangan Anita kini ia harus kehilanganku dan juga pekerjaan. Sementara aku bernapas lega akhirnya aku terbebas dari perasaan yang selama ini menyiksa hati dan perasaanku.

Pelan aku keluar gedung. Dengan perasaan berdebar, saat memasuki gedung masih berstatus sebagai seorang istri. Kini, saat keluar statusku telah berubah menjadi janda.

Saat keluar aku mengedarkan pandangan kulihat Angga tengah bersandar di mobilnya, begitu melihatku ia langsung melambaikan tangan, aku pun mendekat.

Bagiku tidak mudah untuk menerima orang baru dalam hati ini, kegagalan rumah tangga membuat rasa trauma mendalam. Saat ini aku hanya ingin fokus pada karir, dan mengembangkan butik. Urusan kantor sudah kuserahkan pada Om Rizal adiknya Almarhum Papa. Sementara Mas Arya sudah kupecat dari jabatannya. Mas Arya harus berlapang dada menerima segala kesusahan akibat kecerobohan dan kebodohannya. Itulah balasan untuk pengkhiantannya selama ini, harus rela kehilangan segala-galanya.

SELESAI

NODA DALAM PERNIKAHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang