Pov Arya
Setelah Bi Jana pergi, aku mencoba berbicara dengan Aini. Memberi perhatian seperti biasanya. Tetapi, Aini masih bergeming tidak menanggapiku. Ia kembali berbaring membelakangiku. Rasanya aku hampir putus asa melihat Aini mendiamiku.
"Maafkan, Mas, Ai. Apa yang harus, Mas lakukan agar kamu mau memaafkan, Mas?" tanyaku sedih. "Maafkan, Mas telah mengkhianati pernikahan kita, dan menyakiti hatimu." Aku kembali berucap, mataku terasa berkaca-kaca. Aini tergugu, membuatku semakin bersalah.
Aku pun menceritakan panjang lebar pada Aini kenapa aku sampai bisa menikah dengan Anita. Semua karena kebodohanku. Hanya isak yang semakin jelas terdengar dari bibir Aini. Akhirnya ia berkata lirih dan ingin minta cerai. Seketika aku memeluk tubuhnya dari belakang, air mataku jatuh mengenai wajahnya. Tidak! Aku tidak ingin bercerai darinya sampai kapanpun dia tetap Ainiku. Kami pun menangis bersama dalam guguan yang semakin pilu.
***
Aini kembali tertidur, mungkin ia kelelahan karena terlalu lama menangis. Aku berinisiatif untuk membuat rendang dan cake kesukaannya. Setelah menyelimutinya, pelan aku melangkah menekan handle pintu, takut membangunkannya. Setelah pintu terbuka aku melangkah menuju dapur.
"Eh, Den Arya. Ada yang bisa Bibi bantu, Den?" Bi Jana bertanya setelah mendapatiku berdiri di dapur.
"Saya ingin membuat rendang sama cake kesukaan, Aini, Bi." ucapku seraya mencari bahan-bahan di dalam kulkas.
"Perlu, Bibi bantuin, Den?" tanya Bi Jana. Aku menggeleng pelan dan tersenyum.
Selesai membuat rendang aku segera menaruhnya di kamar di atas nakas samping Aini tertidur. Sengaja kutaruh disitu, agar setelah bangun ia senang, pikirku. Lalu, kembali ke lantai bawah untuk membuat cake brownies.
"Den, Non Aini saat ini sedang diet, dan menghindari makanan berlemak." Bi Jana berucap saat tangan ini tengah mengumpulkan bahan-bahannya.
"Oh, begitu ya, Bi?" tanyaku meyakinkan.
"Iya, Den!" Bi Jana pun mengangguk.
Baiklah aku harus membuat cake brownies dengan rendah kalori agar Aini tetap bisa menikmati brownies kesukaannya.
Selesai!
Aku kembali ke kamar kulihat Aini sudah bangun dan duduk di atas tempat tidur, aku pun menghampirinya dengan satu piring cake brownies yang sudah kutaburi parutan keju.
"Sayang, kamu sudah bangun?" tanyaku setelah melangkah lebih dekat ke arahnya.
"Meski, kamu di sini bukan berarti aku telah menerimamu sepenuhnya, Mas!" ucap Aini dingin, rasa ada yang menyentil sebagian hatiku mendengar ucapan dari bibir, yang sebelumnya selalu berkata lemah lembut padaku.
Aku hanya mengangguk pasrah, dan kembali bersikap seperti biasa lalu mencoba menyuapinya.
"Mas, tau kamu lagi diet dari, Bi Jana. Kue ini, Mas buat khusus buat kamu dengan rendah kalori." Tanganku terulur ke arah mulutnya. meski awalnya menolak akhirnya dengan kegigihanku ia menerima meski hanya sepotong. Tak apa, semua butuh kesungguhan, akan kubuktikan kalau aku benar-benar mencintainya.
***
Hari ini aku bertemu Mbak Elma ia tau kalau aku pulang ke rumah Aini.
"Mbak denger, kamu balik lagi ke rumah Aini?" tanya Mbak Elma.
"Iya, kemarin Aini pingsan, karena kecapekan," ucapku menjelaskan.
"Oh, begitu," jawab Mbak Elma singkat. Wajahnya terlihat senang entah mengapa. Setelahnya ia pamit pergi.
Saat pulang kerja aku langsung bertanya sama Aini apa Mbak Elma datang ke rumah? dan seperti dugaanku, ternyata benar Mbak Elma datang untuk meminjam uang. Aku menghela napas lalu membuangnya dengan kasar. Aku tidak ingin Mbak Elma semakin membuat suasana semakin tidak nyaman.
***
Hari ini Aini sudah kembali bekerja, aku senang melihatnya kembali sehat. Aku memperhatikannya yang tengah berdandan, sejak aku pergi Aini semakin cantik, sepertinya usaha dietnya tidak sia-sia. Aku memuji kecantikannya, membuatnya bersemu merah.
Aini sudah siap untuk berangkat, aku mencoba menawarkan untuk mengantarnya. Tetapi, ditolak. Aini pun segera turun ke lantai bawah, aku pikir kami akan sarapan berdua seperti sebelum-sebelumnya, ternyata Aini lebih memilih untuk membawa bekal. Aku hanya bergeming. Bi Jana sempat menawarkan sarapan. Tetapi, mendadak aku tak berselera untuk sarapan dan memutuskan untuk pergi ke kantor.
Pekerjaan hari ini begitu membuatku terasa lelah, ditambah lagi aku terus saja memikirkan Aini. Aku ingin segera pulang, dan melepas penat, setelah bekerja seharian di kantor.
Tiba di rumah aku berjalan gontai menaiki anak tangga menuju lantai atas, aku berpikir untuk istirahat dengan tenang. Namun, betapa terkejutnya aku melihat dua wanitaku dalam satu ruangan yang sama. Degup jantungku berpacu lebih cepat, pasti sesuatu yang tidak diinginkan telah terjadi. Melihat kedatanganku, Anita menghampiriku dan bergelayut manja. Rasanya aku ingin mati saja detik itu juga, aku melihat Aini tetap bergeming sambil melipatkan tangan di depan dada, wajahnya terlihat biasa saja, tetapi membuatku ciut dan berkeringat, padahal Ac dinyalakan.
"Mas, lihat istrimu, dia berani menyakitiku," ucap Anita sembari memperlihatkan pergelangan tangannya yang sedikit memar, aku tak menggubris dan hanya bergeming dalam ketakutan, pandanganku tertuju pada Aini. aku begitu takut kehilangan Ainiku. Anita masih saja berceloteh, menyuruhku mengusir Aini dari rumahnya.
"Apa yang kamu lakukan di sini, Anita?" Akhirnya aku buka suara karena tak tahan lagi dengan celotehnya yang membuat telingaku terasa panas.
"Aku hanya mengambil hakku," ucapnya santai, yang tak ku mengerti apa maksudnya.
"Apa maksudmu, Anita?"
"Rumah ini, ini rumahmukan, Mas? Aku hanya ingin tinggal bersamamu," rengeknya dengan manja membuatku terkejut.
Aini mendekat, membuatku semakin keringat dingin. "Jawab saja, Mas! Rumah ini, butik dan perusahaan tempat, Mas bekerja punya siapa?"
Aku kembali menatap Aini ragu-ragu aku menjawab "Punya, Aini."
Mendengar itu aura wajah Anita seketika berubah ia tidak percaya, tubuhnya luruh kelantai.
Akhirnya aku membawa Anita pergi. Aku sudah tidak tahan lagi dengan semua ini dan harus segera menyudahi semuanya.
"Mas, ingin kita berpisah!" ucapku tegas, setelah kami masuk ke dalam mobil.
"Apa? Pisah? Enak saja, lalu anak ini mau kau telantarkan?" ucap Anita dengan kesal lalu kembali menyenderkan tubuhnya dengan keras ke jok kursi mobil.
"Apa?" tanyaku masih tak percaya.
"Iya aku hamil, anakmu," ucap Anita masih dengan wajah kesal.
Seketika perasaanku bercampur aduk antara rasa sedih dan bahagia, jika benar Anita hamil itu artinya sebentar lagi aku akan menjadi ayah, sesuatu yang selama ini ku impikan. Andai saja Aini yang hamil pasti kebahagianku akan bekali-kali lipat.
***
Sebelum berangkat kerja aku mampir ke rumah, bermaksud menemui Aini. Tetapi ia enggan bertemu denganku. Tetapi, aku tau kalau Aini sedang ada dirumah akhirnya aku pun masuk, dan benar saja Aini sedang sarapan.
Wajahnya begitu nampak kesal melihat kedatanganku. Bagaimanapun aku harus bicara. Aku mencoba menjelaskan semuanya. Tetapi, Aini tetap bersikeras tidak ingin mendengarkanku, ia bangkit bersiap meninggalkanku. Refleks, aku menarik pergelangan tangannya dengan kuat.
"Ai, Mas mohon dengarkan, Mas!"
"Lepaskan, Mas sakit!" Aini menarik tangannya.
"Ma-maaf!" ucapku merasa bersalah dan melepas tangannya.
"Sekarang pilih, aku atau wanita itu?" tanya Aini, yang seketika membuatku terkejut, dan bungkam.
Saat ini aku tidak mungkin memilih diantara kalian. Akhirnya aku hanya diam membiarkannya pergi. Aku berharap Aini bisa menerima semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NODA DALAM PERNIKAHAN
RomanceTidak ada pasangan yang baik-baik saja hatinya setelah diduakan, sekalipun kau telah meminta maaf. Karena sakitnya hati karena sebuah pengkhianatan adalah patah yang tidak bisa dengan mudah disembuhkan. Aini, wanita dengan kesetian dan kekayaannya h...