Diantara Dua Pilihan

6.5K 350 4
                                    

Setelah Mas Arya dan Anita pergi aku terduduk lemas di atas sofa. Aku termenung memikirkan hal yang baru saja terjadi, kenapa Mas Arya begitu tega padaku. Padahal jika dia benar-benar memikirkanku dia bisa memilih meninggalkan perempuan itu.

Apa kurangku selama ini, bahkan aku tak pernah menuntut untuk dinafkahi secara materi. Aku pun tak pernah menanyakan perihal keuangan kantor yang saat ini sepenuhnya kuserahkan padanya. Kenapa, Mas Arya tetap ingin bertahan dengan perempuan itu, jika ia merasa pernikahannya adalah sebuah keterpaksaan. Pikiranku meracau tak karu-karuan, tiba-tiba kepalaku terasa pusing, memikirkan semua itu.

"Non, Bibi minta maaf ya!" Bi Jana perlahan menghampiriku, ada perasaan tak enak di wajahnya.

Aku tersenyum, sembari menggenggam tangannya. "Gak apa-apa, Bi. Ini bukan salah, Bibi." ucapku tegar, agar aku terlihat baik-baik saja.

"Tapi, gara-gara, Bibi membiarkan perempuan itu masuk, semua jadi kacau," ucap Bi Jana terisak.

Aku menepuk-nepuk punggung Bi Jana. "Gak apa-apa, Bi. Aku yakin perempuan itulah yang memaksa, Bibi." Bi Jana masih terisak sambil mengangguk.

"Tiba-tiba perempuan itu datang membawa koper, dan bilang kalau dia istrinya Den Arya. Bibi gak bisa berbuat apa-apa. Sekali lagi, Bibi minta maaf, Non."

"Sudah, Bi. Bibi gak salah. Tolong ganti seprey kasurnya, Bi dan juga bersihkan kamar ini! Aku mau mandi dulu, gerah!" ucapku menyudahi percakapan.

"Ba-baik, Non!" Bi Jana pun turun kelantai bawah mengambil peralatan untuk membersihkan kamar.

Sementara aku segera masuk ke dalam kamar mandi merendam diri dalam bathup. Sesuatu yang terjadi hari ini benar-benar membuatku lelah. Rasanya tenaga dan pikiranku terkuras gara-gara makhluk tak tau malu itu. Aku berdecak sebal.

Aroma bunga mawar membuat pikiranku sedikit lebih rileks, rasanya aku ingin berlama-lama berendam di sini, melepas segala beban yang tengah menimpa diriku. Tanpa terasa sudah hampir satu setengah jam aku berendam, akhirnya aku bangkit dan segera keluar.

Kamar sudah terlihat rapi, dan sepreynya pun sudah diganti Bi Jana. Aku menghela napas, pukul sudah menunjukkan setengah sembilan malam, perutku terasa lapar dan segera minta di isi.

Setelah berganti pakaian, dan merapikan rambut aku segera turun ke bawah. Suasana kembali sepi. Mas Arya dan Anita nampaknya benar-benar sudah pergi. Aku bernafas lega, meski disudut hati terasa ada yang sakit. Rasanya begitu menyakitkan saat Mas Arya memilih pergi bersama wanita itu.

Makanan yang kumakan begitu terasa hambar, ah Mas Arya kau sungguh telah menyakiti hatiku, dan aku masih mencintaimu, tetapi juga membencimu. Karena bagaimanapun dia lelaki yang telah mengisi kekosongan hati saat hati pernah patah lalu kemudian jatuh cinta pada sosoknya yang selalu memberi kehangatan.

Tanpa terasa air mata mengalir di pipiku, aku segera menghapusnya dengan kasar, aku tidak boleh menangisi lelaki itu.

Selesai makan aku kembali ke kamar. Ruangan ini kembali sepi, tak ada tegur sapa dari Mas Arya lagi. Padahal aku punya segalanya. Tetapi kenapa Mas Arya begitu tega padaku, apa lebih perempuan itu dibandingkan aku? Apa hanya karena aku belum bisa hamil? Aku tersenyum sinis. Menyadari kelemahan diri.

Aku merebahkan diri di atas kasur, ruangan ini begitu terasa luas untukku sendiri. Aku masih saja merutuki nasib yang tengah menimpaku, hingga aku pun ketiduran.

***

"Non, ada Den Arya di depan!" ucap Bi Jana saat aku tengah sarapan.

"Bilang padanya, aku sedang tidak ingin bertemu!" jawabku sambil terus memasukkan potongan sandwich alpukat kedalam mulut.

"Baik, Non!"

Mau apalagi lelaki itu datang ke sini, bukankah dia telah memilih pergi dengan wanita itu, aku mengendikkan bahu dan terus melanjutkan aktivitas makanku.

"Ai, Mas minta maaf soal kejadian kemarin!" tiba-tiba Mas Arya sudah berada di belakangku.

"Kamu, ngapain ke sini bukankah sudah kubilang aku sedang tidak ingin bertemu!" ucapku ketus.

"Ai, Mas mohon maafkan Mas, Mas benar-benar gak tau kalau Anita akan datang ke sini!"

"Sudahlah, Mas aku sibuk, dan sudah terlambat!" Aku segera mengambil tasku di atas meja, dan berlalu pergi. Tetapi pergelangan tanganku ditarik Mas Arya.

"Ai, Mas Mohon dengarkan, Mas!"

"Lepaskan, Mas sakit!" Aku menarik tanganku.

"Ma-maaf," ucap Mas Arya merasa bersalah.

"Sekarang pilih, aku atau wanita itu," ucapku dengan penuh emosi, Mas Arya hanya tertunduk lesu, bibirnya bungkam.

"Hem ... Sudah kuduga, kamu gak bisa milihkan, Mas?" Sergahku, lalu aku pun pergi meninggalkan Mas Arya dalam kebisuan.

Entah apa yang ada dalam pikiran Mas Arya aku pun tak tau, dan apa alasannya ingin tetap mempertahankan semuanya, apakah Mas Arya punya rencana lain? Ah entahlah, yang jelas aku tidak boleh lengah.

NODA DALAM PERNIKAHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang