"Sekarang pilih, aku atau wanita itu," ucapku dengan penuh emosi, Mas Arya hanya tertunduk lesu, bibirnya bungkam.
"Hem ... Sudah kuduga, kamu gak bisa milihkan, Mas?" Sergahku, lalu aku pun pergi meninggalkan Mas Arya dalam kebisuan.
Entah apa yang ada dalam pikiran Mas Arya aku pun tak tau, dan apa alasannya ingin tetap mempertahankan semuanya, apakah Mas Arya punya rencana lain? Ah entahlah, yang jelas aku tidak boleh lengah.
Aku memacu mobil dengan kecepatan sedang menuju butik. Selama di perjalanan pikiranku kembali memutar memory bersama Mas Arya sebelum badai menghantam nahkodah rumah tangga kami. Mataku kembali berkaca-kaca, aku segera menghapusnya dengan kasar sebelum benar-benar jatuh membasahi kedua pipiku.
Sampai di butik aku memarkirkan mobil, menatap arloji pada pergelangan tangan pukul menunjukkan 07 lebih 45. Sebelum membuka butik aku menyempatkan ke Indo*aret di seberang jalan. Tadi sarapanku sempat terganggu karena tamu tak diundang. Aku ingin mencari cemilan ringan.
Aku tengah memilih kue kering, tiba-tiba tubuhku ditabrak seseorang.
"Punya mata gak sih," ucapnya padahal jelas dia yang menabrakku, seketika aku menoleh.
"Hem, kau rupanya," ucapnya sinis.
"Oh, ternyata kau si ul*r tak tau malu," ucapku tak kalah sinis.
Anita semakin berdecak sebal. "Lihatlah, Mas Arya akan lebih memilihku dibandingkan, dirimu yang malang." Anita mengelus-ngelus perutnya, entah apa maksudnya.
Aku tersenyum sinis, "Kalau kau mau, Mas Arya ambil saja! Asal kau tau Mas Arya tidak punya apa-apa," sergahku.
"Kau terlalu sombong, Aini! Perlu kau ketahui tanpa Mas Arya perusahaanmu itu tidak akan berkembang pesat seperti sekarang ini, kau juga yang rugi kalau sampai melepas Mas Arya." Anita tersenyum penuh kemenangan. Ah, sial ul*r ini memang pandai bersilat lidah, membuatku bungkam sejenak.
"Kau pikir, Aku takut dan akan merasa rugi kehilangan, Mas Arya. Ambillah barang bekasku kalau kau mau!" Kali ini gantian aku yang membuat Anita bungkam, terlihat aura wajahnya memerah seketika.
"Kau ...." Telunjuknya mengarah ke wajahku, aku segera menepisnya. Lalu Anita pun tersenyum licik.
"Kau tau Aini, Mas Arya sangat bahagia menghabiskan malam-malam bersamaku, memadu kasih sepanjang malam. Ia begitu merasa puas apalagi sebentar lagi Mas Arya akan menjadi seorang ayah," ucap Anita memanasiku, rasanya ingin sekali aku mencakar wajah, dan merobek mulutnya itu. Tetapi, sebisa mungkin aku tidak akan terpancing dengan ucapannya, yang aku yakin sekadar untuk memanas-manasi hatiku.
"Oh begitukah, selamat!" ucapku sambil mengulurkan tangan dan memberikan senyum termanis yang kupunya. Anita pikir aku akan terpancing dengan sandiwara receh seperti itu, tidak! Tidak akan.
Bre*gs*k, ternyata lelaki itu telah menanam benih pada wanita lain. Mengingat itu aku benar-benar merasa muak dengan Mas Arya, aku pikir pernikahan yang katanya terpaksa hanya omong kosong. Tetapi, mana mungkin juga seokor kucing menolak dikasih ikan. Ah, memikirkan itu benar-benar membuat kepalaku terasa nyeri.
Ragu, Anita menyambut tanganku, aku sedikit meremas tangannya lalu berbisik di telinganya. "Kau telah bermain api Anita, siap-siaplah untuk terbakar!" Aku melepaskan genggaman tangannya dan mundur kebelakang, lalu kembali tersenyum. Seketika wajah Anita nampak pias, dan berlalu pergi meninggalkanku.
Aku tersenyum puas, meski ada perasaan dongkol. Aku kembali memilih beberapa kue kering dan bergegas menuju kasir. Setealah seorang kasir berseragam merah biru itu mentotalkan semuanya, aku mengangsurkan pecahan lima puluh ribu dua lembar. Lalu, kembali ke butik. Pagi ini moodku benar-benar buruk gara-gara dua manusia tidak tau malu itu.
Aku segera membuka butik seperti biasanya di temani Abel asistenku. Aku termenung menatap lembaran kertas di dalam map warna merah, laporan penjualan bulan ini mengalami penurunan, aku menghela napas lalu membuangnya dengan kasar. Mengingat bagaimana perjuanganku membuka butik ini, sebelum aku menikah dengan Mas Arya, semua berkat dukungan Papa. Tiba-tiba air mataku mengembang mengingat sosok yang selama ini telah membesarkanku dengan penuh kasih sayang. Ingin rasanya aku mengadukan semua, berkeluh kesah akan prihal masalah rumah tangga yang tengah menimpaku.
"Bu, Kok Ibu nangis?" tanya Bela tiba-tiba menganggetkanku.
"Ah, iya ini aku kelilipan," kilahku.
Bela menghela napas, ia sudah kuanggap seperti adik sendiri. "Aku tau kalau, Kak Aini sedang tidak baik-baik saja!" ucapnya penuh perhatian. Saat di luar jam kantor Bela sengaja memanggilku kakak, karena aku yang meminta.
Air mataku kembali mengembang, ternyata aku begitu rapuh. Aku mengangguk pelan. "Aku kangen Papa, dan juga Mas Arya memiliki perempuan lain," jawabku jujur.
Mendengar kalimat terakhir, Bela begitu terkejut. "Astagfirullahhaladzim, Kak, Aini yang sabar ya! Banyak-banyak istighfar!" ucapnya semabari mengelus punggung tanganku. Aku mengangguk pelan.
"Minumlah! Biar pikiran Kakak sedikit lebih tenang!" Bela memberikanku segelas coklat.
Setelah meminum coklat buatan Bela pikiranku sedikit merasa lebih tenang, sekarang aku merasa lebih baik dari sebelumnya.
***
Pulang kerja aku sengaja singgah ke makam Papa, aku begitu rindu dan ingin bercerita di atas pusaranya. Aku menaburkan bunga yang tadi kubeli. Lalu berdoa untuk Papa.
"Pa, Aini kangen sama Papa. Semoga Papa bahagia di sana! Sekarang Aini sedang di coba dengan masalah rumah tangga, Aini bingung harus gimana, Pa?"
Aku terdiam lalu mengusap-usap batu nisan yang bertuliskan Surya Bin Abdullah. Tiba-tiba langit mendung sepertinya akan segera turun hujan.
"Pa, Aini pamit ya!" Aku mengecup nisan Papa, lalu berlari kecil menuju mobil yang terparkir di pinggir makam.
Aku segera masuk ke dalam mobil dan menghidupkan mesinnya, perlahan meninggalkan makam.
Tiba di rumah, aku melihat Mas Arya tengah duduk di atas sofa ruang tamu, melihat kedatanganku ia segera bangkit. Ah, kenapa hari ini dua manusia mengesalkan itu selalu muncul dihadapanku, sepertinya aku harus mulai berpura-pura dan bermain cantik.
KAMU SEDANG MEMBACA
NODA DALAM PERNIKAHAN
RomanceTidak ada pasangan yang baik-baik saja hatinya setelah diduakan, sekalipun kau telah meminta maaf. Karena sakitnya hati karena sebuah pengkhianatan adalah patah yang tidak bisa dengan mudah disembuhkan. Aini, wanita dengan kesetian dan kekayaannya h...