Aku duduk di balkon kamar, memandangi langit malam yang kelam. Tidak ada cahaya bintang yang biasa bertabur mewarnai angkasa. Masalah yang terjadi akhir-akhirnya benar-benar menguras tenaga dan pikiranku.
Pandanganku beralih pada benda pipih berukuran 5 inci yang sejak tadi kupegang, menatap foto usang yang sengaja kembali kupotret dan simpan dalam galeri foto. Andai saja Mama ada di sini, ingin rasanya aku memeluk tubuhnya dan menceritakan segala beban yang tengah menimpa. Aku tidak pernah tau bagaimana rasanya disayang oleh seseorang yang dipanggil, Mama!
Ah, Mama! Air mataku seketika mengembang. Sejak ia pergi bersama lelaki itu aku tidak lagi pernah melihatnya. Inikah yang dirasakan Papa saat itu, ketika mengetahui Mama berselingkuh di belakangnya? Mengingat itu membuat dada ini kembali sesak.
"Ai, belum tidur?" tanya Mas Arya menganggetkanku, langkahnya mendekat, lalu duduk disebelah kananku.
"Belum ngantuk." jawabku singkat.
Ponselku berdering sebuah panggilan masuk. Aku mengernyitkan dahi melihat nama yang tertera di atas ponsel. Mama mertua, ada apa Mama menelpon malam-malam begini pasti ada sesuatu yang penting.
"Siapa, Ai?" tanya Mas Arya penasaran, karena melihatku terdiam sesaat.
Aku memperlihatkan layar ponsel ke wajahnya. "Angkat saja, Ai!" ucapnya kemudian.
Aku menggeser tombol hijau, panggilan pun terhubung.
"Hallo! Assalamualaikum, Ma," sapaku pada perempuan yang sangat kuhormati itu. Tetapi, sejak tau Mas Arya menikah lagi komunikasi kami renggang, aku pikir Mama juga mendukung pernikahan tersebut tanpa ingin memberitahuku.
"Waalaikumsalam, besok sebelum berangkat kerja mampir ke rumah! Ada yang ingin Mama dan Papa bicarakan, ajak Arya juga!" ucap Mama tanpa basa-basi.
"Baik, Ma!" balasku singkat, dan Mama pun segera mematikan ponsel.
"Ada apa?" tanya Mas Arya, setelah aku kembali meletakkan ponsel.
"Mama, menyuruh kita kesana besok, sebelum ke kantor," balasku.
Mas Arya terdiam sejenak entah apa yang dipikirkannya, lalu kembali bersuara.
"Kalau kamu tidak bisa biar, Mas saja!"
"Aku akan datang, tidak sopan rasanya kalau aku berpura-pura tidak bisa."
"Oh baiklah kalau begitu terserah kamu saja!" ucapnya terlihat tegang.
***
Aku terbangun saat azan subuh sudah menggema memenuhi jagad raya, kulihat Mas Arya masih meringkuk di atas tempat tidur, rasanya sungkan untuk membangunkannya. Tanganku sampai terulur beberapa kali lalu kutarik lagi karena ragu. Akhirnya, dengan memejamkan mata membuang sedikit rasa ego, kuguncang tubuhnya pelan.
Mas Arya mengerjap-ngerjapkan matanya melihat ke arahku. Perlahan ia pun bangun.
Aku segera turun dari ranjang menuju kamar mandi untuk membersihakan diri dan berwudu. Saat ke luar dari kamar mandi kulihat Mas Arya sudah terlihat rapi dengan baju koko putih dan sarungnya lengkap dengan pecinya. Seketika hatiku terenyuh melihat pemandangan ini, entah sejak kapan terakhir aku melihat Mas Arya memakai pakaian seperti itu, barangkali awal kami menikah.
"Ayo, Ai kita salat berjamaah!" ajaknya Mas Arya.
Aku hanya mengangguk pelan, dan tersenyum simpul. Tetapi, tentu saja senyum itu tidak kutunjukkan padanya. Rasanya sudah lama aku merindukan moment seperti ini.
Selesai salat aku menyambut tangan Mas Arya dan menciumnya dengan takzim. Lalu, Mas Arya mencium keningku lama, dan menarikku dalam pelukkannya.
"Maafkan, Mas, Ai! Karena telah mengkhianati pernikahan kita, menyakiti hatimu, dan juga mas belum bisa jadi imam yang baik untukmu."
Ragu aku akhirnya membalas pelukan Mas Arya melingkarkan tangan di tubuh besarnya.
Aku sibuk membuat sarapan di dapur. Pagi ini aku akan membuat nasi goreng udang. Sudah lama rasanya aku tidak masak ini.
Selesai masak aku menghidangkannya di atas meja, tiga piring nasi goreng udang plus telor mata sapi di atasnya.
Mas Arya turun, ia sudah terlihat rapi dengan kemeja biru dan jas hitamnya. Tampangnya memang mempesona setiap perempuan yang menatapnya. Akan tetapi, sangat menyebalkan bila ingat akan ketidak tegasannya bila berhadapan dengan wanita.
"Sudah lama, Non Aini gak masak ini, Bibi kangen," ucap Bi Jana di sela-sela makan.
Aku hanya tersenyum entah bagaimana menanggapinya. Sejak hubunganku dan Mas Arya renggang aku memang jarang lagi masak makanan kesukaan keluarga ini dan makan bersama.
Mas Arya hanya terdiam, mungkin ia tengah menyadari semua kesalahannya dan membuat suasana tak nyaman.
Selesai makan aku bersiap-siap untuk berangkat kerja. Sebelum itu aku sudah janji akan datang ke rumah Mama, sambil bertukar pakaian hatiku bertanya-tanya ada apa gerangan Mama menyuruh aku dan Mas Arya ke sana? Apa ini ada hubungannya dengan Anita? Hatiku menduga. Ah, dari pada terus-terusan penasaran lebih baik aku bersegera menyelesaikan dandananku.
Aku dan Mas Arya tiba di rumah bercat putih dengan tanaman menghiasi taman kecil. Aku melangkah memasuki pintu rumah yang terbuka. Kulihat mereka sudah berkumpul. Aku melihat juga ada gundiknya Mas Arya, seperti dugaanku ini masalah Mas Arya dan Anita.
Aku kembali menatap sekeliling, Tatapanku berhenti pada seorang perempuan yang kuterka usianya sekitar 58 tahun. Rasanya aku tak asing dengan wajahnya yang terasa familiar, tahi lalat di pipi sebelah kanannya begitu kentara dengan wajah putih bersihnya.
Pikiranku mengingat-ngiat sesuatu, menyadari itu rasanya aku begitu syok. lebih syok lagi saat Anita memanggil perempuan itu dengan sebutan Mama. Siapakah dia sebenarnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
NODA DALAM PERNIKAHAN
RomanceTidak ada pasangan yang baik-baik saja hatinya setelah diduakan, sekalipun kau telah meminta maaf. Karena sakitnya hati karena sebuah pengkhianatan adalah patah yang tidak bisa dengan mudah disembuhkan. Aini, wanita dengan kesetian dan kekayaannya h...