Pov Arya
Aku begitu kaget melihat mobil Aini terparkir di depan gedung kantor saat tengah mengangkat telpon. Saat ini ia pasti menuju ruanganku. Sementara di dalam sana ada Anita.
Aku buru-buru menyudahi sambungan telpon dan segera kembali ke ruangan. Tetapi, aku tidak mendapati Ainiku hanya ada Anita yang sedang menangis ketakutan, melihat kedatanganku ia menghambur kepelukanku dan menceritakan hal yang baru saja terjadi.
"Apa kamu mengenalinya?" tanyaku saat Anita mulai tenang, ia hanya menggeleng. Karena Anita bilang orang tersebut menggunakan masker dan menutupi kepalanya dengan topi baju. Aku sangat yakin kalau itu adalah Aini. 'Gawat' batinku.
Ternyata benar setelah pulang dari kantor sikap Aini begitu dingin ia tidak menyambut kepulanganku seperti biasanya.
Bahkan saat tengah makan malam pun ia masih tetap memilih diam. Tiba-tiba Mbak Elma datang, membuat masalah semakin runyam karena Mbak Elma tidak bisa menjaga mulutnya. Terbongkarlah semuanya, akhirnya dengan terpaksa aku mengakui kalau aku sudah menikah dengan Anita sejak tiga bulan yang lalu. Aini begitu marah dan mengusirku dari rumah.
Aku sempat meminta maaf dan berniat menjelaskan semuanya. Tetapi, Aini tetap tidak ingin mendengarkanku, dan meninggalkanku berlari menuju kamar.
"Sudahlah, Arya buat apa kamu mengemis-ngemis seperti itu, perempuan itu pasti akan kesepian tinggal sendirian di rumah seluas ini, dan menyesal karena telah mengusirmu," ucap Mbak Elma dengan nada enteng.
Rasanya aku ingin sekali marah pada Mbak Elma gara-garanya masalah ini menjadi begini.
"Mbak bisa diam gak sih, ini semua karena salah Mbak!" Aku berucap dengan kesal.
"Kok malah nyalahin, Mbak sih?" protes Mbak Elma tak suka, lantas ia berdiri dan pergi begitu saja.
Dengan berat hati aku menyeret koper, aku tidak tau harus ke mana pulang ke rumah itu tidak mungkin. Aku meletakkan kembali koper di samping meja makan aku sejenak terduduk lesu, tiba-tiba Bi Jana menghampirku dan bertanya heran.
"Mau ke mana, Den malam-malam begini?"
"Saya mendadak ada tugas ke luar kota, Bi. Titip Aini ya, Bi! Sepertinya Aini sudah tidur saya gak tega membangunkannya." ucapku berbohong.
Setelahnya aku kembali melangkah pergi, entah aku pun tak tau harus ke mana? Pulang ke rumah itu tidak mungkin. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke apartemennya Anita dan tinggal bersamanya.
Anita begitu senang menyambut kedatanganku, namun sekaligus kaget mengatahui aku di usir dari rumah, wajahnya begitu nampak kesal. Tetapi, aku tidak peduli.
Sejak pergi dari rumah, setiap hari aku selalu memberi perhatian pada Aini meski hanya melalui sebuah pesan, aku tidak peduli meski ia tidak menanggapinya. Aku tidak ingin kehilangan Ainiku. Sejak ia mengusirku aku tidak pernah bertemu dengannya karena ia tidak ingin bertemu denganku. Tetapi, aku tidak kehilangan akal dan putus semangat. Hari ini, pulang kerja aku sengaja membeli makanan kesukaannya kue brownies, dan mengantarnya langsung ke rumah.
Hatiku sangat bahagia karena akan bertemu dengan Aini. Dengan rasa percaya diri mobilku memasuki pelataran rumah Aini. Aku segera turun karena tak sabar ingin bertemu dengannya. Tetapi, lagi-lagi aku harus kecewa karena Aini sedang tidak ada di rumah. Dengan terpaksa akhirnya aku menitipkannya pada Bi Jana.
Hari-hari terasa begitu menyiksa sejak berpisah darinya, kerap kali aku merutuki kebodohan diri. Aku sangat merindukan Ainiku. Saat tengah melamun memikirkan Aini di kantor, tiba-tiba ponselku berdering telpon dari rumah. Aku pun segera mengangakatnya.
"Hallo, Den, Non Aini, Den. Non Aini," ucap Bi Jana panik.
"Ada apa dengan, Aini, Bi? tanyaku tak kalah panik.
" Non Aini pingsan!" ucap Bi Jana kemudian. Aku segera mematikan ponsel dan bergerak cepat menuju rumah.
Tiba di rumah aku segera mengangkat tubuh Aini yang tergeletak di garasi ke kamar, berat badannya terasa lebih enteng dari biasanya. Aku meletakkan tubuhnya ke atas tempat tidur dengan hati-hati, dan menelpon dokter pribadinya.
"Tidak ada yang serius, Bu Aini hanya kecapekan," ucap Dokter Arini, lalu ia memberikan resep obatnya, dan pamit pergi.
"Terima kasih, Dok," balasku.
Setelah menebus resep obat aku kembali ke kamar, kulihat Aini masih terpejam. Aku duduk di sampingnya seraya menggegam tangannya, sepertinya ada yang berubah dari penampilannya. Tetapi, apa? Berat badannya, iya berat badannya, sekarang ia lebih kurusan dan terlihat cantik. Sepertinya Aini melakukan diet. Menyadari itu aku tersenyum.
Aini mengerjap-ngerjapkan matanya mengamati sekeliling.
"Syukurlah, Ai kamu sudah sadar!" Aku berucap senang sembari masih memegangi tangannya. Tetapi, Aini tidak menggubris ucapanku sikapnya terasa dingin. Bi Jana datang dengan membawa teh hangat, Aini pun bertanya ke pada Bi Jana.
"Bi, aku kenapa?" tanya Aini. rasanya begitu menyakitkan tidak dianggap. Padahal aku jelas-jelas berada di dekatnya. Aini sepertinya begitu sangat membenciku. Apa yang harus ku lakukan agar ia mau memaafkanku?
***
Buat teman yang mau membaca terusan kisah ini, bisa dibaca di google play store, cari saja dengan mengetik
INA YASRI
KAMU SEDANG MEMBACA
NODA DALAM PERNIKAHAN
RomanceTidak ada pasangan yang baik-baik saja hatinya setelah diduakan, sekalipun kau telah meminta maaf. Karena sakitnya hati karena sebuah pengkhianatan adalah patah yang tidak bisa dengan mudah disembuhkan. Aini, wanita dengan kesetian dan kekayaannya h...