Pagi-pagi sekali Anita sudah ribut karena mendapati Mas Arya pulang dalam keadaan yang sangat menyedihkan, sepertinya Mas Arya mabuk. Aku yang lagi duduk santai di teras depan pura-pura tidak melihat, dan terus sibuk membaca koran, melihat berita yang di muat hari ini.
Mas Arya berjalan sempoyongan, aroma alkohol mengusik indra penciumanku. Tiba di depan pintu, tubuh Mas Arya terjatuh dan tak sadarkan diri, Anita pun kaget.
"Mbak, tolongin, Mas Arya!" teriaknya gelagapan, seperti melihat orang yang mati saja.
"Ya tinggal diangkat, Nit," ucapku santai, pandangan mataku tetap fokus pada koran yang kupegang. "Jangan mau enaknya saja! Giliran Mas Arya kayak gitu gak mau ngurusnya," cicitku yang masih tetap fokus membolak-balik koran yang kupegang.
Aku tidak peduli ekpresi apa yang akan ditunjukkannya, dan aku juga tidak peduli Mas Arya mau pingsan ataupun mati sekalian. Hatiku begitu sakit menerima perlakuan kasarnya kemarin sore. Lelaki lemah lembut dan penuh perhatian itu kini sudah berubah, bagai srigala yang siap menerkam mangsanya kapan saja. Aku benci!
Anita masih saja mengoceh, dan memaki-maki. Sepertinya perempuan itu memang mulutnya tidak pernah di kasih sambal, atau terlalu sering makan sambal, hingga yang keluar dari dalam mulutnya hanya kata-kata pedas.
Ah shit!
Pagi-pagi sudah mengganggu, merusak moodku saja. Rencana libur yang menyenangkan gagal sudah. Aku beranjak dari tempat duduk dan melewati Mas Arya yang tergeletak di depan pintu.
Setelah itu aku berbalik dan kutendang tubuhnya yang kini sudah tidak berdaya dengan kuat, menumpahkan kemarahan dan kekecewaan. Tetapi, Mas Arya tidak berkutik sepertinya ia benar-benar pingsan. Apa aku istri durhaka karena telah bersikap kasar?
"Bangun! Menyusahkan saja!" teriakku emosi, tetapi yang diteriaki tetap tidak bergeming 'apa dia mati?' batinku.
Aku berlalu ke dapur mengambil satu ember air lalu kembali mendekat ke arah Mas Arya yang sudah tidak berdaya, tanpa ba-bi-bu aku menyiram Mas Arya dengan seember air. Seketika mata Anita terbelalak tidak percaya. Tetapi, tidak kupedulikan.
Mas Arya terbatuk-batuk, karena mendapat guyuran air dariku, perlahan ia bangkit, dan memanggil namaku.
"Ba*gsat! Apa yang kamu lakukan, kamu pulang dalam keadaan mabuk?" cercaku emosi, kemarahanku sudah di ubun-ubun yang sudah tidak sanggup lagi kutahan, Anita terkesiap, wajahnya pucat pasi. Barangkali ia menduga aku wanita lemah yang bisa di permainkan sesuka hati. Tetapi, pagi ini ia melihat kemarahan yang tidak bisa lagi kutahan.
"Dan, kau gundiknya Mas Arya!" Telunjukku menunding wajah Anita membuatnya semakin terkesiap. "Jika masih ingin tinggal di sini jangan coba-coba bersikap lancang." Aku membanting ember yang tadi kupegang dengan kasar ke lantai. Lalu berlalu meninggalkan mereka.
Masuk ke dalam kamar, air mataku yang sejak tadi tertahan kini jatuh saling bekejaran. Tuhan, maafkan aku! Aku istri durhaka, aku semakin terisak dalam guguan, duduk di balik pintu yang sudah kukunci, dan membenamkan wajahku diantara kedua lutut. Mas Arya telah memporak porandakan perasaanku, aku tidak bisa terus begini.
Aku harus memutuskan diantara dua pilihan, tinggal bersama atau berpisah. Jika bersama aku harus memaafkan, dan melupakan segala kesalahannya. Rasanya terlalu menyakitkan tinggal bersama dengan orang yang diam-diam mengkhianati.
Entah sudah berapa lama aku menangis dan mengurung diri, akhirnya aku beranjak membasuh wajahku yang terasa sembab, aku berhak bahagia aku tidak pantas disakiti oleh mereka yang menjadi benalu di rumahku.
Keluar kamar mandi, aku mengambil ponsel, dan menelpon seseorang yang kupercaya bisa membantuku dalam masalah ini. Pertama-tama aku harus menyelidiki anak yang ada dalam kandungan Anita, apa benar dia anaknya Mas Arya atau jangan-jangan?
Setelah mendapat bukti kebenarannya aku akan bercerai dari Mas Arya. Telpon pun tersambung, aku menelpon Hardi teman waktu SMA dulu, sekarang ia menjadi pengecara yang jadwalnya sangat sibuk, aku berharap ia bisa membantu.
"It's oke, jadi kapan kita bisa bertemu?" tanyanya di ujung telpon.
"Kapan saja, kamu ada waktu," balasku.
Akhirnya kami sepakat untuk bertemu hari ini jam 04 sore nanti di cafe.
Setelah menunggu beberapa menit akhirnya Hardi muncul juga. Aku tidak sabar untuk bisa segera menyelesaikan masalah pelik ini, dan bernapas lega dengan kebebasan.
"Maaf, lama menunggu," ucap Hardi, tangannya terulur.
"Gak kok," balasku sambil membalas uluran tangannya.
Tidak lama kemudian pesanan pun datang, perempuan cantik dengan seragam merah itu melayani dengan ramah dan mempersilahkan. Aku pun membalas dengan anggukan dan senyuman.
"Jadi gimana?"
Aku pun menjelaskan panjang lebar pada hardi, perihal masalah dalam rumah tanggaku, agar ia bisa menyikapi dan membantu langkah apa yang mesti dilakukan.
"Jadi kamu curiga, anak yang ada dalam kandungan selingkuhan suamimu bukan anaknya, Arya?" tanya Hardi sembari mengaduk-ngaduk jus mangga dengan sedotannya.
Aku mengangguk pelan, jika terbukti itu bukan anaknya Mas Arya aku akan mendepaknya keluar dan menjadikannya gelandangan dan Mas Arya akan menyesal karena telah bertindak bodoh. Saat ini Mas Arya setengah mati menyanyangi perempuan itu, bahkan ia rela membentakku, hal yang tidak pernah ia lakukan sebelum Anita masuk dalam kehidupanku dan Mas Arya, dan itu sangat menyakiti hatiku.
"Setelah itu apa rencanamu?" tanyanya lagi.
Aku menghela napas lalu membuangnya pelan, "Aku ingin bercerai dari Mas Arya," jawabku sungguh-sungguh.
Hardi sejenak nampak diam, seperti memikirkan seduatu, tetapi entah apa? Kemudian hanya mengangguk pelan. Keputusan sudah diambil dan disepakati akhirnya kami pun saling berpamitan setelah menemukan jalan terang. Aku merasa menemukan setitik harapan dan cahaya.
Bercerai, solusi terakhir saat semuanya tidak bisa lagi diperbaiki. Mau bagaimana lagi? saat nahkodah yang dilayarkan terhempas gelombang dan mengalami keretakan, lalu bersusah payah menambalnya akan menjadi percuma saat di waktu yang datang akan selalu diingat-ingat. Jika memilih tetap bersama kau harus lapang dada menerima dan memaafkan. Mas Arya tunggulah kejutan dariku!
KAMU SEDANG MEMBACA
NODA DALAM PERNIKAHAN
RomanceTidak ada pasangan yang baik-baik saja hatinya setelah diduakan, sekalipun kau telah meminta maaf. Karena sakitnya hati karena sebuah pengkhianatan adalah patah yang tidak bisa dengan mudah disembuhkan. Aini, wanita dengan kesetian dan kekayaannya h...