¬20¬

699 157 43
                                    






Junkyu membuka matanya perlahan namun kembali menyipit dikarenakan cahaya yang begitu terang didepannya. Setelah menetralkan pandangannya, Junkyu dengan perlahan bangkit karena nyatanya luka-lukanya belum terobati.

"Kok gue disini?" gumamnya. Bingung sekarang dirinya ada dimana. Begitu asing dengan ruangan serba putih itu.

"Junkyu..."

Junkyu yang dilanda kebingungan itu langsung menoleh cepat kearah sumber suara yang memanggilnya. Suara yang sudah lama tak pernah ia dengar. Suara yang sangat ia rindukan. Suara dari seseorang yang membuatnya disebut pembunuh.

"K-kak Jisoo..."

Jisoo tersenyum. Perempuan itu juga sangat merindukan suara adiknya ini. Dengan senyum yang masih terpatri di bibir indahnya, Jisoo berjalan mendekati Junkyu.

"Masih sama aja. Tapi kamu makin tinggi." Jisoo terkekeh sembari mengelus rambut Junkyu pelan.

"K-kak... i-ini..."

Jisoo tersenyum saat Junkyu memeluknya erat. Di ruangan yang begitu hening itu sekarang dipenuhi dengan tangisan Junkyu.

"Kak... Jujun minta maaf. Maafin Jujun. Jujun juga gak mau punya penyakit kayak gitu. Jujun bego karena gak bisa nahan diri. Maafin Jujun karena ngehancurin masa depan kakak. Maaf kak.... maaf.... hiks.."

Jisoo kembali mengelus pelan kepala Junkyu yang berada di pundaknya. "Kakak gak suka lho liat kamu nangis. Udah gak apa. Kakak ikhlas kok. Jujunnya kakak gak boleh nangis."

Perkataan Jisoo semakin membuat Junkyu mengeratkan pelukannya dan menangis lebih kencang.

Jisoo mendorong pelan bahu Junkyu lalu menangkup wajah adiknya. Sedikit tertawa karena wajah Junkyu sehabis menangis sangat lucu dengan hidung dan bibir yang merah, jangan lupakan juga ingusnya.

Mengusap pelan airmata Junkyu yang masih tersisa. "Udah ih kok nangis?"

Junkyu yang masih sesunggukkan kembali memeluk Jisoo erat tanpa memedulikan lengannya yang sakit. "Jujun rela kakak pukul, tendang, didorong, tampar. Jangan kayak gini. Jujun justru sakit ngeliat kakak yang senyum tulus kayak gitu."

Jisoo menggeleng pelan lalu kembali mendorong bahu Junkyu. "Kalau kakak bilang marah, kecewa, sakit itu semua udah terlambat, Jun. Tapi bukan karena kamu dan juga bukan karena Dobby."

"Kak–"

"Dengerin kakak dulu."

Junkyu mengangguk tanpa mengeluarkan kata.

"Kakak punya penyakit leukimia. Udah lama tapi kakak diem aja. Kakak juga udah capek jadi robot keluarga. Dituntut jadi sempurna. Menjaga nama baik keluarga yang justru bikin kita tertekan sendiri karena tuntutan itu. Maka dari itu kakak lebih milih pasrah. Sebelum dobby mukul kepala kakak. Kakak emang udah dalam keadaan setengah sadar."

Jisoo menoleh saat kembali mendengar suara tangisan Junkyu.

"Kenapa? Kenapa kakak gak bilang? Jujun ada kak." Junkyu mendongak menatap Jisoo dengan pandangan kecewa.

Jisoo menggeleng. "Kakak gak mau buat kamu terbebani. Kamu juga tertekan 'kan? Sama omongan orang dan Mama Papa?"

"Tapi–"

Jisoo langsung memotong ucapan Junkyu. "Udah terlambat buat marah, Jun. Semua gak bisa kita ubah gitu aja. Ini udah takdir. Waktu kita lagi sedikit, Jun"

Jisoo menatap lekat mata Junkyu. Perlahan mata indah itu juga ikut meneteskan airmata. "Maafin Kakak karena ngebuat kalian berdua jadi terbebani. Dituntut lebih keras supaya jadi kayak Kakak. Maaf karena Kakak gak ada disaat kalian berdua lagi butuh. Maaf karena Kakak lebih milih diem saat kalian berdua dimarahin sama Mama Papa. Maaf Kakak gak bisa jadi Kakak yang baik buat kedua adiknya."

Bloody Day ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang