"Perpisahan itu tidak selalu berakhir dengan kesedihan, tergantung dirimu memaknainya sebagai apa." —Satya.
*
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tepat setelah Satya mengucapkan itu, ia menyesal. Melihat raut wajah Kiana yang sulit diterka membuatnya mengira sudah salah mengambil keputusan. Keberaniannya tidak diperlukan, untuk saat ini. Mungkin seharusnya, tidak ia ungkapkan perasaan rumit yang ia miliki sejak berbulan bulan itu.
Putus dari pacar, memang menyakitkan. Karena kita tidak akan bisa menghabiskan waktu dengan orang yang kita cintai. Tapi putus pertemanan? Itu jauh lebih menyakitkan. Merekalah yang lebih dulu ada sebelum kita memiliki pacar. Mereka yang selalu sabar menunggu di belakang kita, disaat kita sendiri sibuk membangun rasa bahagia dengan pacar kita itu.
Satya takut, hubungan pertemanannya akan rusak.
"Gue bilang kaya gini biar gue lega aja, nggak bermaksud untuk bikin lo feeling guilty. Bahkan untuk ngejawab balik, gue nggak butuh. Gue cuma pengen lo, tetep jadi temen gue."
Suasana sepi perpustakaan seakan sangat mendukung prosesi pengakuan Satya, hanya ada suara mesin AC dan detak jam dinding yang menemani mereka. Satya dapat melihat dengan jelas, Kiana yang terduduk di hadapannya.
Sepersekian detik berikutnya, Satya didekap erat. Satya bisa mendengar, suara isak tangis Kiana yang berusaha cewek itu sembunyikan. Kiana memeluknya segera setelah bangkit dari kursi.
"Kok malah nangis?"
Bukannya menjawab, Satya malah mendapat pukulan di bagian punggung. Nggak sakit sih, rasanya kaya ditepuk tepuk doang. "Gue ngerasa jahat banget sama lo hueeeeeeeee."
"Jangan keras keras."
"Mukulnya?"
"Nangisnya."
Habis dipukul, Satya ditoyor pakai buku.
***
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
