Chapter 15

2.5K 169 1
                                    

Jangan lupa vote ...
Gak rugi kok, malahan berkah...

Happy reading

***

Ella
Hari berganti hari, bahkan minggu, aku terus bekerja untuk Aland. Dari semua itu aku sudah mulai terbiasa dengan sikap dinginnya.

"Ella, kau dipanggil oleh Aland," kata Richard, sekretaris Aland yang baru keluar dari ruangan itu.
Aku mengangguk menanggapi Richard.

Aku mengetuk pintu, dan Aland menyuruhku masuk. Aku berdiri di seberangnya, seperti biasa. Ia menatapku membuat jantungku berdegup kencang.

"Ella, aku butuh dokumen project High Tower, ada masalah dengan proyeknya," katanya datar.

Aku berpikir sejenak.
"Uh.. Ya, tapi aku pikir kita tidak memerlukannya lagi karena ada proyek lain jadi aku membuangnya."
Aku tahu aku baru saja mengacau. Ia menatapku sangat serius tapi tidak mengatakan apa-apa, justru jika ia bersikap seperti itu aku menjadi takut.

"Well,  kita bahas ketika kita pulang," katanya menambahkan dan menarik napas dalam-dalam.

"Aland, aku benar-benar tidak tahu -"

"Kau boleh pergi."

***

Setelah beberapa jam perjalanan pulang, mobil sangat hening, tapi Aland sepertinya tidak marah lagi padaku, wajahnya tidak menunjukkan kemarahan.

Tapi ia juga tidak berbicara padaku. Sepertinya proyek itu pasti sangat penting baginya.
Ketika ia memasuki kamarnya aku mengikutinya, aku harus mengendalikan emosinya saat ini.

Aland melemparkan jasnya ke sofa, aku tidak bisa diam lagi jadi aku meraih ujung kemejanya seperti anak kecil.

"Aland, kumohon. Jangan marah padaku aku benar-benar tidak tahu surat-surat itu begitu penting."
Ia menatap mataku dengan sangat lekat.

"Aku tidak marah tapi aku mungkin harus menghukummu," katanya saat ia mendorongku ke dinding dan aku mulai keringat karena dia melakukan hal itu.

Dan kemudian aku merasakan bibirnya yang lembut di leherku.
Dia mulai mencium, menggigit dan mengisap leher sensitifku dan aku hampir mendesah gara-gara itu.

Setelah beberapa saat ia mengisap begitu keras sampai sakit aku mendorongnya sambil meringis kesakitan di leherku.

Ia meninggalkan tandanya di sana, dan tidak hanya satu. Aku melihatnya 'terkejut dan ia menjilat bibirnya. Sekarang aku bisa melihat nafsu di matanya.

"Kau masih begitu sangat tidak tertarik?"

"Kau bosku, dan aku karyawanmu. Tidak seharusnya lebih." Dan kemudian aku keluar dari sana dan pergi ke kamarku.

Aku terus berpikir tentang apa yang aku katakan. Apakah itu benar-benar aku?

Aku mengganti pakaianku tapi tiba-tiba pintu terbuka dan Aland masuk, padahal sekarang aku hanya memakai hotpants dan tanktop saja.

"Aland..."

"Kau keluar dahulu," ucapku pelan.

Tapi Aland semakin mendekatiku dan menarik tubuhku. "Maybe i want to be something more than just your boss. Aku ingin bukan hanya jadi bossmu."

***

Aku membuka mataku yang bengkak karena menangis. Aland jahat, aku tidak akan pernah mempercayainya lagi. Tidak akan!

Aku tersentak saat Aland menggeliat di leherku. Ya, ia melakukannya karena itu sekarang aku membencinya.

"Kau menangis tadi malam," ucapnya pelan dengan suara beratnya. Apa ia mendengarku menangis, padahal aku menangis dalam diam.

"Kau sama saja dengan Liam," sahutku gemetar ingin menangis lagi, aku ingin lari dari rumah ini tapi Aland tidak melepas tangannya dari perutku.

"Jangan samakan aku dengannya," katanya pelan tapi terkesan ia kesal aku bandingkan dengan Liam.

"Aku ingin berhenti bekerja."
Segera, Aland langsung membuka matanya. "Tidak akan."

"Hidupku milikku."

"Ya, tapi kau milikku juga."

"Aland-"

Tiba-tiba Aland duduk dan menatapku, akupun ikut duduk tapi aku menatap ke bawah.
"Kau takut aku akan membuangmu? Kau takut aku akan meninggalkanmu?" tanyanya sarkastik dengan nada tangga.

Tidak bisa kukontrol lagi, air mata kembali menetes dari mataku.

"Kau ingin aku berbuat apa agar kau percaya barang sekali saja," katanya mengangkat wajahku sedikit kasar.

Aku menghapus air mataku. "Kau dan aku harus tampak biasa-biasa saja seperti tidak ada yang terjadi, dan melupakan kejadian tadi malam."

Ia terkekeh. "Mana bisa aku melupakannya tapi aku bisa bersikap santai dan menjadi lebih dingin padamu jika itu maumu."

"Baik."

"Sekarang, kau keluar agar aku juga bisa keluar," lanjutku, ia menghela nafas kasar tapi pada akhirnya keluar juga.

***

Aku menghirup nafas sepanjang-panjangnya dan membuangnya kasar. Aku pergi ke bukit sekadar untuk menenangkan otak dan hatiku.

Aku menyesal ...
Aku menyesal lari dari rumahku, aku menyesal memilih putus sekolah!!

Sekarang aku tidak ada gunanya lagi, aku hanya akan menjadi babu jika tidak ingin menjadi asistennya Aland lagi.

Seharusnya, satu minggu lagi aku akan lulus dari bangky SMA, berfoto sambil memegang ijasah dengan teman-temanku. Tapi entah apa yang aku pikirkan dulu, aku memilih berhenti sekolah.

"Kau tampak kesal," ucap seseorang tiba-tiba. Aku berbalik dan mendapati seorang wanita berumur lebih tua dariku.

Aku tidak membalasnya tapi ia menjadi berdiri di sampingku, ikut memegang pagar pembatas bukit menatap alam di bawahnya.

"Kau bukan orang New York, 'kan?" tanyanya seakan tahu aku orang California.

"Wajahmu berbeda dengan etnis New York," lanjutnya seperti membaca pikiranku.

"Kenapa kau berhenti sekolah?" tanyanya.

Aku kembali menatapnya sambil mengerutkan keningku. "Kau tahu apa tentangku?"

"Aku ke sini karena hanya tempat ini yang bisa aku datangi tanpa ada orang lain di sekitarku."
Ya memang, bukit ini belum terkenal dan hampir tidak ada orang yang datang kemari.

"Dulu, aku menyesal karena membunuh ayahku," katanya.

"Pardon?" ucapku refleks takut salah dengar.

"Ya, aku sengaja tidak memberinya obat saat ayahku sekarat."

"Kemudian aku bekerja menjadi wanita jalang, hingga satu tahun kemudian aku melihat sebuah postingan yang mengubah hidupku."

"Aku menyesal menjadi kotor, dan bodoh, sekarang aku sudah menikah dengan laki-laki yang tidak melihat kekuranganku dan saat ini aku sedang mengandung," katanya tersenyum, aku melihat perutnya yang sedikit membuncit.

"Kisahmu berbeda dengan kisahku," sahutku.

"Aku hanya ingin bilang, ambil bagian sesungguhnya dalam hidupmu agar kau tidak menyesali kekuranganmu di kemudian hari."

"Babe?"  panggil seorang laki-laki dari belakang. Kuduga ia adalah suaminya.

"Aku duluan," katanya kemudian berjalan menghampiri suaminya.

***

Probably vote|coment|...

See ya...

You're Mine [Lengkap✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang