Chapter Sembilan Belas

80 12 11
                                    

SELAMAT MEMBACA


Rani, Intan, dan Eca pun menyusul Farhah yang sudah lebih dulu mendekati pria bertubuh sawo matang dengan keringat mengucur di pelipisnya. Tinggal beberapa depa lagi jarak mereka, pria itu mengusap pelipis serta mengacak-acak rambutnya sendiri-persis seperti iklan anti-ketombe.

"Masyaa Alloh, nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan. Eh, astagfirulloh." Intan mengoceh sendiri sambil menutupi matanya setelah sadar telah digoda nafsu. Kedua kakak di sampingnya hanya mampu menggeleng melihat tingkah adiknya itu.

Dalam jalannya mendekati pria asing itu, Intan menggunakan kedua tangannya untuk menghalangi penglihatannya—takut-takut akan tergoda lagi dengan ketampanan natural yang dimiliki si pria. Mereka kini berdiri di samping Pak Andi.

Rani terlihat menimang-nimang sesuatu sampai ingatannya kembali sepenuhnya. "Loh, bukannya yang kemarin di warung bakso?"

Bukan jawaban, Zafran hanya membalas dengan senyuman manisnya. Anak-anak Pak Andi pun merasa baru saja dihantam meteor cinta yang membuat jantungnya berdetak tidak normal.

"Ini semua anak-anak saya. Kita mengobrol di tepi jalan saja, Zafran. Terlalu ramai kalau ngobrol di jalan begini," ajak Pak Andi ramah.

"Silakan, Pak." Pria yang dipanggil Zafran itu dengan sopan mempersilakan Pak Andi untuk mendahuluinya.

Kedelapan anak Pak Andi mengikuti saja tanpa sempat berkomentar. Farhah terus saja berdiri di samping Zafran. Sesenti saja berpindah, lengan mereka akan bertumbukan. Namun, takdir memang tidak ke mana. Tidak ada angin maupun hujan, Rani terpeleset karena tidak fokus dan dengan sigapnya Zafran memegang pundaknya agar tidak terjatuh.

"Astagfirulloh ...." Intan yang menonton adegan itu segera menendang lutut Zafran dan sontak membuat pria itu melepaskan cengkeraman tangannya. Nasib Rani memang jatuh, jadi sudahlah tersungkur dia.

"Untung aja kenanya tanah, coba kalau jalan berbatu ...."

"Bisa jadi keping-keping kaya hatiku." Zifah dan Eca kompak membuat ejekan bersama.

Farhah terlihat gemas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ada yang salah, kalau drama harusnya enggak begini, batinnya.

Zarie tertawa dengan keras, sedangkan Intan berusaha keras menahan tawanya. Lagi-lagi hanya Pika. Ya, hanya Pika yang segera menolong kakaknya itu berdiri serta membantunya membuang tanah-tanah yang menempel di baju.

Minta maaf. Kalau di drama harusnya minta maaf.

"Maaf, tadi refleks," sesal Zafran.

Bagus! Marah. Adegan selanjutnya harus marah. Ah, bukan. Daripada marah, sepertinya lebih baik kalau terima kasih. Bagaimana pun, cowok itu sudah berusaha menangkapnya. Tapi lebih seru marah. Mm .... Farhah sibuk sendiri dengan pikirannya hingga tanpa sadar dirinya hanya berdiri sendiri di jalanan, sedangkan keluarganya sudah ada di tepi jalan.

***

"Mas Zafran tentara? Yah, ditinggal, dong." Eca lemas sendiri mendengar profesi Mas Zafran.

Pak Andi dan anak-anaknya serta Mas Zafran duduk di bangku taman—beberapa duduk di rerumputan.

"Pantes aja tangan Kak Zaflan gede! Gendong! Jali mau gendong!" Zarie merengek secara tiba-tiba membuat Zafran terkekeh. Ia berdiri dan benar-benar menuruti keinginan gadis imut lima tahun itu. Zarie memeluknya erat seperti pada ayahnya sendiri.

Zifah melihat Intan dan berbisik padanya, "Mau ceramah tapi enggak bisa, ya? Zarie anak kecil, sih."

"Bener, tangan Mas Zafran gede!" Pika ikut-ikutan menoel otot bisep Mas Zafran yang terlihat kencang saat sedang membopong Zarie.

Special Ramadhan: Keluarga Komedi || By Matahari GroupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang