Biasanya, Alma Daisy Septiannanda akan tiba di sekolah tepat satu menit sebelum bel tanda masuk dibunyikan. Alasan utama, ia malas berlama-lama di dalam kelas sementara yang lain sibuk mengobrol dengan teman-temannya. Gadis yang biasa dipanggil Alma itu enggan, terlihat terabaikan seperti orang tidak punya teman. Walau sebenarnya memang demikian.
Namun, hari ini ia sengaja datang sepuluh menit lebih awal. Konsekuensi mengikuti pelajaran dari jendela luar kelas sebagai hukuman, untuk murid yang telat di pelajaran Matematika, merupakan kendala. Selain malu, siapa mau jika poin yang sudah didapatkan dengan susah payah, harus hilang dalam hitungan jam.
Jika satu poin adalah jawaban benar dari lima soal, maka sepuluh soal adalah satu kehilangan terbesar. Secuil kelalaian dapat membuat angka merah dalam buku laporan akhir semesteran. Kesalahannya bukan seberapa, tapi kemarahan mama akan terdengar bising di telinga sampai seharian.
Sebenarnya Alma tidak terlalu mementingkan nilai di banyak pelajaran. Ia hanya suka bahasa Indonesia dengan pelajarannya. Kendatipun bukan termasuk ilmu pasti, tapi mengerti ide pokok dalam sebuah paragraf bukanlah hal yang mudah. Disitulah letak serunya.
Jika guru Matematika dikenal tegas, maka Ibu Nilam seorang yang santai dalam mengajar. Ketika murid-murid sibuk mencatat, maka ia akan fokus menatap laptop. Membuat status dan mengomentari postingan orang-orang di Facebook.
Demi jarak yang terasa jauh ditempuh, rasa-rasanya Alma ingin segera tiba di dalam kelas. Berjalan sendirian—menunduk merasa malu, melangkah terasa kaku, merupakan tantangan besar. Murid lain seperti memerhatikan, padahal itu hanya buah dari pikiran. Sikap overthinking itu yang terkadang menyiksa hati. Padahal orang lain hanya sibuk pada diri sendiri.
Mendadak langkahnya terhenti ketika sebuah bola menggelinding sampai di depan kakinya. Bersamaan dengan itu, seseorang berteriak dari tengah lapangan.
“Oy! Lempar sini bolanya, tolong!”
Alma langsung menoleh ke sumber suara. Ia sempat terpaku. Tidak ada lagi orang lain—terdekat—selain dirinya yang bisa melakukan hal tersebut.
“Eh, buruan!” Yang lain mulai menyahut. Jadilah murid yang ada di sekitarnya menoleh dan cukup memerhatikan.
Tidak mau lebih lama jadi bahan tontonan, Alma segera membungkuk, meraih bola itu dan tanpa ancang-ancang langsung melemparkannya ke tengah lapangan—di mana murid laki-laki tengah bermain basket di sana. Namun, karena ayunannya yang pelan, otomatis benda berwarna oranye itu tidak terlempar jauh.
“Yaelah, itu, sih, ngelempar bola bekel.” Sontak saja mereka tertawa. Alma benar-benar merasa tersudutkan dan sangat malu, sehingga tanpa berbasa-basi, ia buru-buru mengambil langkah untuk pergi. Kedua pipinya pasti sudah merona semerah tomat.
Sesampainya di dalam kelas, Alma lantas disuguhkan oleh pemandangan yang sebenarnya sudah biasa terjadi. Tiga atau empat orang siswi di kelasnya sering menghabiskan waktu kosong sebelum jam pelajaran dimulai dengan berpacaran. Mereka tidak canggung, apalagi malu bercanda berduaan. Tertawa cekikikan, lalu saling rangkul.
Dari dulu ia perhatikan. Seseorang yang gampang punya pacar itu, pasti yang good looking. Lalu pintar dan pandai bergaul. Populer di sekolah. Jika dipikir-pikir, Alma tidak dalam kualifikasi itu. Jangankan bisa punya pacar, ada cowok yang mau mengajaknya bicara saja sudah lebih dari bagus.
Tiba-tiba perasaan ingin merasakan hal yang sama seperti gadis-gadis yang punya pacar itu, muncul.
Indah kali, ya. Merasa diperhatikan.
Merasa ada yang jaga. Jadi kayak dibutuhkan.“Galan! Galan! Galan! Please, dong, bagi nomor lo yang baru!”
Lamunan Alma menguar. Perhatian yang ada di kelas pun jadi teralihkan, saat seorang gadis dengan suara nyaringnya bersuara—mengejar pemuda bertubuh tinggi—yang tanpa acuh terus berjalan, hingga sampai di bangkunya. Duduk di sana, tepat di kursi sebelah Alma.
KAMU SEDANG MEMBACA
Need-Romantic
Teen Fiction[END] Setelah enam belas tahun menjomblo, Alma tiba-tiba ingin merasakan yang namanya punya pacar. Ketika menemukan orang-yang dirasa-tepat, ia sampai mencurahkan dan menaruh impian besar pada yang namanya percintaan. Alma tidak tahu, jika mencintai...