“Jadi putri Mama yang hobinya diem di kamar seharian ini sekarang udah punya pacar?” tukas Ayana dengan nada menggoda ketika Alma baru saja turun untuk makan malam. “Wah-wah, gawat. Aku kesalip dong?”
Alma mengembuskan napas kuat-kuat. Memutar bola matanya merasa kesal. Menghentakkan kaki sampai tiba di kursinya. Sepertinya sekarang tidak akan ada kata tenang di kamus Alma.
Memang benar dugaan mereka, tapi bukan Galan orangnya. Lagipula Alma belum berkeinginan untuk mengatakan hubungannya dengan Asta pada keluarga. Sementara Galan terus saja mengacaukan kehidupannya yang tenang dan damai.
Mau marah, tapi juga kasihan.
Mau diam sana, tapi cowok itu benar-benar keterlaluan.“Lho, kok, nggak dikenalin sama Papa?” sahut Septian yang tidak mau kalah, ingin tahu, atau sekedar menggoda putrinya.
“Mama udah suruh dia untuk mampir, kok, lain kali. Ganteng, lho, Pa.” Desi berkata seperti memprovokasi yang membuat kakak dan juga papanya semakin penasaran. “Alhamdulillah, bibit unggul.”
“Gimana ini? Masa kakak kalah sama adek?”
“Eits, tenang aja, Pa. Aku juga lagi mempersiapkan orang terbaik untuk dikenalin sama kalian.” Ayana segera menanggapi tidak mau kalah saing.
“Apa, sih, Mama, Papa, sama Kakak, ini. Dia bukan pacar aku, cuma temen.” Alma mulai bersuara bermaksud membela diri, walau sebenarnya agak percuma. Meraih gelas berisi air mineral dan menegurnya, karena tiba-tiba kerongkongannya terasa kering.
“Ah, jangan-jangan dia cowok yang sama yang aku temuin di depan gang kompleks itu?” Alma langsung batuk-batuk setelah mendengarnya. Melirik Ayana sekilas merasa jengkel. Sementara mamanya menyodorkan tisu untuk mengelap air yang tumpah ke kaos kuningnya. “Tuh, kan, panik. Pasti bener.”
“Udah, nggak usah tebak-tebakan. Yang paling bener, nanti kamu ajak Galan mampir ke rumah, ya?” sambung papa mereka.
“Ih, apaan? Nggak, ah! Orangnya rese, aku nggak suka!” Mereka malah tertawa cekikikan karena lucu melihat ekspresi Alma.
***
Karena terus dijadikan bahan ejekan, terutama oleh kakaknya itu, setelah selesai makan Alma memutuskan untuk segera kembali ke kamarnya. Tidak membantu merapikan, sapu-sapu, apalagi mencuci piring. Intinya gadis itu sedang dalam mode ngambek.
Di kamar, tepat duduk di kursi meja belajarnya Alma segera membuka buku—bermaksud mengerjakan tugas Biologi. Namun, baru setengah nomor—dari sepuluh soal yang diberikan—selesai dikerjakan, ponselnya sudah berbunyi.
Buru-buru perhatian Alma teralihkan. Mencabut kabel charge, sehingga handphone itu berada di genggaman tangan kanannya.
“Asta video call?” ucapnya bernada agak pelan.
Buru-buru gadis itu menuju meja riasnya. Merapikan rambut, memberi sedikit bedak agar tidak terlihat terlalu pucat dan lipstik berwarna merah muda yang terkesan lebih alami. Setelah lama menunggu, akhirnya Alma kembali ke meja belajarnya dan siap-siap—dengan gemuruh dada yang mulai tak karuan—menerima panggilan video dari Asta.
Layar bergambar itu kemudian menampilkan wajah Asta dalam jarak yang dekat, sampai Alma lumayan tersentak lebih-lebih terpaku melihat ketampanannya. Memakai kaos berwana hijau army dengan rambut belakang yang berpotongan pendek. Sementara bagian atasnya dibelah dua.
Dengan tidak sopannya, membuat hati Alma melebur tak karuan, tiba-tiba saja Asta mengedipkan mata seraya memanggil namanya. Sontak saja gadis itu tersentak dengan mulut terbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Need-Romantic
Teen Fiction[END] Setelah enam belas tahun menjomblo, Alma tiba-tiba ingin merasakan yang namanya punya pacar. Ketika menemukan orang-yang dirasa-tepat, ia sampai mencurahkan dan menaruh impian besar pada yang namanya percintaan. Alma tidak tahu, jika mencintai...