“Al, hari ini gue anter lo pulang, ya?” kata Galan, kemudian membuat Alma menoleh dengan ekspresi tegang.
“Nggak, Gal. Aku bisa pulang sendiri.”
“Selalu, deh. Bilang nggak mulu sama gue. Kenapa, sih?”
“Bukan gitu, Gal. Cuma aku—” ucapannya terpotong. Melihat wajah Galan yang memelas begitu, membuat Alma menjadi tidak enak hati.
“Gue itu cuma pengen tau rumah lo,” tukasnya lebih menegaskan seraya mengenakan jaket putih dan bersiap untuk pergi dari kelas. Sekarang hanya tinggal mereka berdua yang tersisa.
Alma mengembuskan napas panjang. Mendelik sinis seraya membuang muka merasa lelah. “Nggak usah bohong, deh. Aku tau kamu pernah ngikutin sampe rumah, kan?”
Merasa sudah tertangkap basah, pemuda itu untuk sebentar terpaku. Menarik kedua sudutnya seperti tersenyum datar. Menahan salivanya yang hendak ditelan.
Lantas Galan cengengesan. “Gue cuma mau mastiin lo sampai dengan selamat.”
“Em, alasan.”
“Waktu itu, kan, gue cuma ngintilin lo doang. Sekarang gue pengen bonceng lo langsung.”
“Pake vespa?”
“Ya iyalah, mau pakek apa lagi?”
Tidak enak hati terus menolak, akhirnya Alma setuju juga untuk di antar pulang oleh Galan. Ia hanya berharap tidak ada tetangga apalagi orang rumah yang mengetahuinya. Bisa habis, kalau sampai mereka tahu.
Meminta Alma untuk mengikuti keinginannya bukanlah perkara yang mudah. Sehingga saat ada kesempatan, Galan tidak ingin menyia-nyiakannya begitu saja.
***
Hari ini untuk pertama kalinya Galan pulang bersama Alma dan duduk tepat di belakangnya. Lucu sekali, gadis itu benar-benar kaku. Mungkin ini juga pengalaman baru bagi Alma dibonceng seorang laki-laki selain papanya sendiri. Alma juga termasuk tipe cewek santri, yang berusaha menjaga jarak dengan lawan jenis.
Vespa yang dikendarai Galan pun terus melaju menyusuri jalanan kota. Meninggalkan semakin jauh lingkungan sekolah. Selama itu, tidak ada percakapan yang terjadi. Mereka saling membisu dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya embusan angin dan suara kendaraan lain yang membisingkan pendengaran.
Sampai kemudian, Galan membuka pembicaraan, “Al, lo laper nggak?”
“Hm?” sayup-sayup suara Galan terdengar di telinga.
“Makan dulu, yu, sebelum lanjut pulang? Gue tiba-tiba laper.”
“Hah?” Alma mendengar meski tidak begitu jelas. Menyesalkan kenapa pemuda itu ada saja kemauannya, sementara dirinya sudah ingin segera sampai ke rumah.
“Gue punya tempat yang bagus. Lo pasti suka, gue jamin.”
Alma meringis. Diam saja karena penolakannya pasti berimbas percuma. Sementara Galan meyakini jika diamnya Alma adalah tanda setuju. Sehingga tanpa banyak bicara lagi, Galan membelokan vespanya ke simpangan sebelah kiri jalan. Sebuah gang yang lumayan besar, seperti gapura sebuah perumahan. Jalanannya terbagi dua, dengan masing-masing lumayan lebar. Setiap sisi ditumbuhi tanaman seperti daun singkong, namun berpohon pendek.
Setelah lumayan jauh memasuki jalanan menuju kompleks tersebut, sampailah mereka di sebuah danau yang terhampar luas dengan airnya yang lumayan jernih. Tidak jauh dari sana ada banyak berjejer warung-warung makanan untuk para pengunjung, yang bermaksud menikmati suasana sekitar danau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Need-Romantic
Dla nastolatków[END] Setelah enam belas tahun menjomblo, Alma tiba-tiba ingin merasakan yang namanya punya pacar. Ketika menemukan orang-yang dirasa-tepat, ia sampai mencurahkan dan menaruh impian besar pada yang namanya percintaan. Alma tidak tahu, jika mencintai...