10 ~ Happy Day

25 10 0
                                    

Apa yang lebih membahagiakan dari perhatian yang tulus dari seluruh anggota keluarga?

Rasanya tidak ada yang lebih spesial dari itu. Keluarga yang harmonis, lengkap, dan penuh cinta. Kesusahan atau keresahan apa pun yang terjadi di luar sana, keluarga tetaplah jalan untuk pulang. Mereka yang paling mengerti dan akan siap membantu setiap saat.

Tepat di tengah malam ini, Alma merasa dianugerahi. Dipertemukan lagi pada tanggal di mana ia dilahirkan ke dunia dalam keadaan sehat. Tanpa sepengetahuan gadis tersebut, Papa, Mama, Kakak, dan Adiknya membuat sebuah kejutan. Mereka datang ke kamar Alma—yang masih tertidur lelap—lantas menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Yang sukses membuat Alma terbangun, ketika Aaray meniup terompet dan membuat bising.

“Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun, selamat ulang tahun ... Alma. Selamat ulang tahun!” kata mereka bernyanyi dengan nyaring dan sangat kompak.

Alma yang masih dalam keadaan mengantuk, bahkan kedua matanya belum terbuka benar, berusaha untuk tersenyum. Samar-samar cahaya di ruangan tersebut, membuatnya tidak terlalu jelas menilik setiap ekspresi yang disampaikan oleh keluarganya itu.

“Selamat ulang tahun, ya, sayang. Panjang umur, sehat selalu,” tukas sang Mama seraya mencium kening dan kedua pipi putrinya itu secara bergantian. Alma saja masih duduk di kasurnya dengan selimut yang menutupi bagian kaki.

“Eh-eh, tunggu dulu!” sergah Ayana ketika papa mereka hendak melakukan hal yang sama seperti mamanya itu. “Tiup lilinnya dulu, baru kasih selamat!”

“Ah, iya. Aaray lupa.”

Sementara dengan tampang polosnya, Aaray meloncat di hadapan Ayana dan meniup api lilin di tangannya itu. Sontak saja Papa, Mama, dan Alma tertawa, sedangkan Ayana merasa kesal.

“Ya ampun, Adek. Kenapa jadi kamu yang tiup, sih? Kan, ini kue ulang tahun Kak Alma.”

“Aduh!” pekiknya seraya menepuk keningnya sendiri. Tingkah itu tentu saja mengundang gelak tawa lagi. “Ray, lupa.”

Ayana menggeleng sambil bersuara seperti sedang memberi makan burung. “Tolong, nyalain lagi, Pa.”

Ucapnya meminta tolong pada Septian, dan lelaki itu dengan senang hati melakukannya. Setelah semua kembali seperti semula, mereka pun mulai lagi menyanyikan lagu selamat ulang tahun, dan membuat Alma meniup lilin sebagai pertambahan usianya yang ke tujuh belas. Sebelum itu Alma sempat memejamkan mata dan membuat permohonan.

Ya Allah, selalulah berikan kebahagiaan untuk kedua orang tuaku, kakakku, adikku, dan diriku. Lindungilah kami, dan jauhkan kami dari segara marabahaya.

Ya Allah, dekatkanlah aku selalu pada orang yang baik. Amin.

Hore!” Aaray kembali berseru, lalu meniup terompet dan menaburkan konfeti yang sejak tadi ditaruh dikedua saku sweater birunya.

“Selamat, ya, Nak,” sela Septian seraya mencium puncak kepala putri keduanya itu.

Tidak mau kalah, Ayana kembali berkata lagi, “Ayo-ayo potong dulu kuenya!”

Sementara Desi segera menyiapkan pisau dan piring kecil disertai garpu. Potongan pertama langsung Alma berikan kepada mama, papa, lalu Ayana, dan terakhir Aaray.

“Kuenya enak!” komentar Aaray sembari menunjukkan jempolnya itu. Ia sudah tidak sabar memberi pendapat padahal sisa kue masih ada di mulutnya.

“Iya, dong. Siapa lagi, buatan Kakak,” timpal Ayana merasa bangga.

“Eh, serius Kakak yang buat?” Alma tampaknya masih ragu. Aneh saja, gadis kantoran seperti kakaknya tersebut bisa membuat kue seenaknya itu.

“Nggaklah, buatan Mama.” Merasa berhasil mengelabui Alma, ia malah tertawa terbahak membuat Alma cemberut karena jengkel.

Need-RomanticTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang