Langit sudah menghitam dengan taburan bintang yang sedikit berkilauan. Semilir angin malam berembus menembus jaket dan sweater yang Galan juga Alma kenakan. Meskipun begitu, tidak mengurungkan niat mereka untuk tetap melangkah kaki menyusuri jalanan kompleks menuju taman terdekat. Kebisuan masih tercipta, hanya sesekali terdengar suara deru mobil dan motor yang lewat.
Setelah salat dan makan malam, Galan izin mengajak Alma jalan-jalan. Hanya sebentar, dan mereka memberi izin. Mungkin saat berdua, dalam suasana tenang, Alma akan kembali bercerita.
Sesampainya di taman, mereka memilih ayunan untuk tempat melepas lelah setelah berjalan. Lumayan banyak yang datang, karena ini hari minggu dan masih hari libur, meskipun besok sudah harus kembali memulai rutinitas.
Untuk beberapa lama, mereka masih saling membisu. Tatapan Alma tertuju lurus pada anak-anak muda yang tengah bermain basket. Sepertinya sangat menyenangkan. Sedangkan Galan tidak tahan untuk ikut bergabung. Ia berlari ke tengah lapangan dan mulai ikut bermain. Pemuda itu memang sangat pandai bersosialisasi.
Alma yang hanya menonton lumayan kagum dengan skill bermain basketnya. Harus diakui, pemuda itu bisa banyak hal. Dari bernyanyi sampai olahraga.
“Al! Sini gabung!” seru Galan tiba-tiba memekik, membuat Alma yang tadi hanya diam jadi tersentak.
Jelas, Alma menggeleng. Tidak mau melakukannya. Namun, gilanya, Galan malah berjalan cepat menghampiri dan menarik tangannya. “Ayo, Al. Kita main. Seru tahu, olahraga malam. Daripada cuma tiduran, pasti badan itu pegel-pegel.”
“Nggak, Gal. Aku nggak bisa.”
“Bisa, nanti gue ajarin.” Alma buru-buru menggeleng. Ia menjadi panik karena Galan tidak mau mendengarkan ucapannya. Sampai kemudian anak-anak tanggung yang menunggu di tengah lapangan ikut membujuk.
“Ayok, Kak! Ayok, main!”
“Tuh, Kan? Ayok!”
Karena keinginan Galan yang kuat, akhirnya Alma dengan berat hati beranjak dari duduknya. Mengikuti langkah Galan sampai ke lapangan, yang tidak terlalu besar tersebut.
Alma jelas saja bingung, canggung. Tidak tahu harus berbuat apa, sementara mereka tampak senang mengejar bola dan berusaha merebutnya. Sedangkan gadis itu hanya berdiam diri, berusaha menghindar tiap kali ada anak yang mendekat.
Tiba-tiba seseorang datang dengan bola dan bersembunyi di belakang punggung Alma. Sedangkan dari depan ada Galan yang berusaha merebutnya. Alam sekarang terkurung, dia tidak bisa kabur, tapi dua orang itu begitu gesit bergerak.
“Al, awas Al!” teriak Galan, yang masih begitu fokus ingin merebut bolanya.
“Ya, gimana?” Alma terlihat panik. Setiap ia berusaha, selalu saja terhalang dan gagal.
Sampai kemudian, Galan mencondongkan tubuhnya ke samping kiri sambil merentangkan tangan. Namun, karena kagok dengan kehadiran Alma, cowok itu malah kehilangan keseimbangan. Gaya gravitasinya lebih condong ke depan hingga membuat ia terdorong memeluk Alma. Untuk sesaat mereka saling berpelukan dan berputar. Hingga akhirnya, Galan bisa menyeimbangkannya lagi, dan kembali pada posisi semula.
Kejadian yang tidak lebih dari satu menit itu sanggup membuat Alma mematung. Membuat sesuatu di dalam rongga dadanya berdetak tidak karuan. Kedua matanya seperti terhipnotis untuk tetap fokus memerhatikan Galan. Pemuda itu seperti tidak terpengaruh. Senyumnya masih lebar, tapi juga cukup menyesal karena tidak berhasil merebut bolanya. Anak tersebut malah sukses mencetak poin lagi. Akan tetapi, Galan ikut senang ketika mereka bereuforia.
Merasa diperhatikan, Galan lantas menoleh. Alma sontak membuang tatapannya. Kaget dan langsung menjadi gugup. Untuk menelan salivanya saja terasa sulit.
“Sori, ya, Al,” ucapnya dengan menaikkan kedua alis sembari tersenyum manis.
“O-oh, iya,” gagapnya.
“Main lagi nggak, Kak?” pekik salah satu dari mereka.
Dengan santai dan penuh semangatnya Galan membalas, “Ayok, siapa takut?”
Lagi mereka memulai permainan, dan Alma pun masih berada di tengah lapangan. Tubuhnya berasa sulit sekali untuk ikut bergerak, terasa kaku seluruh tubuh. Mungkin ini akibat dirinya kebanyakan rebahan. Urat-urat syarafnya menjadi beku.
Sempat berpikir untuk kembali ke pinggir lapangan, tiba-tiba tanpa sadar, dari arah berlawanan datang kembali Galan—tengah menggiring bola dengan tangan. Alma panik dan sontak berteriak saat cowok tersebut meloncat tepat di hadapannya. Sampai Alma bisa merasakan hempasan angin yang dibuat Galan.
Bola pun masuk ke dalam ring, dan Galan berhasil mencetak poin tiga. Anak-anak itu spontan bertepuk tangan menyaksikan kehebatan yang baru saja dipertontonkan.
Namun, lagi-lagi Galan berhasil membuat Alma terpaku seperti orang bodoh. Linglung harus berbuat dan lebih canggung.
“Jadi gimana, Al? Gampang, kan, main basket?” tanya Galan setelah permainan selesai dan mereka memilih duduk di anak tangga.
“Big no,” jawab Alma sekenanya.
Galan tertawa mendapat respons Alma. “Tapi seenggaknya bisa ngurangin sedikit beban pikiran lo, kan?”
Alma termenung, dan benar. Setidaknya ia bisa melupakan Asta barang sebentar. Walaupun tidak yakin, jika sudah sendirian dalam kamar. Ia pasti akan terpengaruh lagi dan menanti-nanti kabar dari Asta.
“Oh, iya. Gimana sama penampilan kamu tadi siang?” Alma balik bertanya. Setidaknya ia ingin mengakhiri pembicaraan tentang masalah hatinya itu.
“Hm, biasa aja. Nggak ada yang spesial.”
“Kok, gitu? Bukannya kamu udah persiapan dengan baik, bahkan kayaknya udah nggak sabar gitu.”
Napasnya berembus panjang dan terkesan lelah. “Ya, gimana dong. Orang yang gue tungguin malah nggak dateng. Jadinya gue nggak semangat.”
Pun, Alma menoleh. Memerhatikan sisi wajah Galan yang tetap menatap lurus ke depan. Kedua tangannya yang memegang sebotol minuman dingin bertumpu di lutut. Digerakkan seperti sedang mencari kegiatan lain. Jujur, Alma tidak tahu harus merespons apa. Takutnya salah, kalau orang yang Galan maksud itu dirinya.
“Karena hal itu gue sadar, musik mungkin memang hobi gue. Tapi, musik bukan yang harus gue perjuangan untuk masa depan.”
“Terus?”
“Mulai sekarang gue mau fokus belajar. Udah mau kelas tiga juga, kan? Gue mau mengabulkan keinginan papa dan mama, yang pengen gue jadi dokter.”
Senyum Alma langsung tersirat merasa lega. “Apa pun yang kamu pilih, aku dukung, kok, Gal.”
“Thanks, ya, Al.” Kemudian mereka terdiam lagi. Membisu, dengan pikiran masing-masing. Sampai yang membuat Galan sangat penasaran untuk segera datang menemui Alma, kembali mempengaruhi pikiran. “Terkadang apa yang kita perjuangkan, belum tentu menjadi masa depan. Ikhlas dan kesabaran adalah kunci utama. Menangis, dan malah terpuruk bukan jalan keluar. Hal itu cuma bikin kita sengsara. Gue bukan maksud menggurui, gue cuma nggak mau menyesal di akhir. Kita harus buka mata, buka hati, buka pikiran. Belajar membuka diri dan peka terhadap sekitar. Jangan terus merasa sedih sendiri. Banyak di sekitar kita, orang yang sayang. Satu kesalahan bisa merubah segalanya. Satu keburukan pergi, akan digantikan dengan beribu kebaikan. Iya, kan?”
Galan berbicara panjang kali lebar, tapi kali ini penuh makna. Alma sampai terkesima. Pemuda yang biasanya ia lihat tidak seserius itu, ternyata bisa bicara dengan bijak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Need-Romantic
Teen Fiction[END] Setelah enam belas tahun menjomblo, Alma tiba-tiba ingin merasakan yang namanya punya pacar. Ketika menemukan orang-yang dirasa-tepat, ia sampai mencurahkan dan menaruh impian besar pada yang namanya percintaan. Alma tidak tahu, jika mencintai...