Belum juga sampai satu jam, berita tentang Galan yang sudah punya pacar segera menyebar ke seluruh murid sekolah—terutama cewek-cewek yang mengidolakannya. Sili dan Mili langsung syok, pingsan di tempat ketika mendengar secara gamblang pernyataan menggemparkan itu dari mulut Galan. Saat itu juga mereka sampai dibawa ke Unit Kesehatan Sekolah.
Sang pelaku sendiri benar-benar merasa puas. Tertawa terus sampai perut sakit karena merasa lucu. Ia tidak menyadari jika yang dijadikan senjata untuk melawan dua gadis—menyebalkan—itu menahan kesal. Seenaknya mengikrarkan kata sakral itu dan membuatnya terbawa dalam masalah.
“Galan,” panggil Alma, ketika semua murid di kelas mereka sudah berangsur-angsur keluar karena jam istirahat baru saja dimulai.
“Ya?” Dan sesantai itu Galan menanggapi, seraya memasukkan bukunya ke dalam tas dan merapikan.
“Pokoknya kamu harus ralat pernyataan tadi,” kata Alma mulai melayangkan protes.
Galan sedikit berekspresi kaget. “Lho, emangnya kenapa? Harusnya lo bersyukur.”
Kening Alma sampai mengernyit. “Kamu tau, beritanya udah nyebar.”
“Bagus itu!” Dengan lantangnya Galan berseru. “Gue nggak perlu capek-capek bilang ke orang, semua udah pada tau. Beres, kan?”
“Apanya ....” Jengkel sekali Alma mendengarnya. “Kamu bikin aku dalam masalah.”
Untuk sejenak Galan membuang napas kasar, terdiam, lalu kembali berkata, “Al, gue boleh minta tolong?” Tidak menjawab, Alma hanya menatapnya saja dengan tampang masam. “Lo, lo tau, kan, gimana gue tersiksanya setiap hari diintilin sama cewek-cewek rese itu. Salah satu cara biar gue terbebas, ya, gue harus punya pacar. Dan lo orang yang tepat buat gue jadiin pacar pura-pura gue.”
Alma semakin tidak habis pikir. “Jadi, aku beneran kamu manfaatin?”
“Duh, duh. Nggak gitu, Al.” Galan mendadak panik. “Lo udah gue anggap temen. Sesama temen itu, kan, harus saling bantu. Gitu.”
“Tapi, kamu nggak izin dulu.”
“Hah .... Oke, deh, oke. Gue ngaku salah. Jadi sekarang gue minta maaf, dan lo mau, ya, bantuin gue?”
Alma malas menjawab dan berniat untuk pergi, tapi Galan buru-buru menahan dengan menarik tangannya. “Al, please, Al. Gue mohon, cuma lo satu-satunya harapan gue. Masa gue harus minta temen cowok buat dijadiin pacar? Yang ada gue disebut gay. Bahaya gue, kan, masih normal.”
Lelah mendengar Galan yang banyak omongnya, Alma menepis tangan pemuda itu dan tetap berlalu. Tidak ingin menyerah, Galan tetap mengejar hingga mereka kini menjadi tontonan—semua mulai memerhatikan—saat keduanya berjalan di koridor. Sekarang Alma merasa ruang geraknya benar-benar terbatas. Ia sama sekali tidak pernah mengira akan menjadi pusat perhatian. Jujur, ia benar-benar malu dan merasa canggung. Belum lagi sikap Galan, yang tidak mau menjauhinya. Dia malah sengaja menebar kebohongan lebih banyak, agar orang-orang percaya jika mereka memang sudah berpacaran.
“Please, Al. Gue beneran minta tolong, kepalang tanggung,” bujuk Galan lebih berbisik tepat di samping telinga Alma.
Belum juga Alma menghindar, teman-teman Galan sudah datang bergerombol untuk merecoki.
“Wah, gila ... pasangan baru kita, Bro!” sahut si rambut agak gondrong seraya menepuk-nepuk pelan pundak Galan. “Pj kali pj.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Need-Romantic
Teen Fiction[END] Setelah enam belas tahun menjomblo, Alma tiba-tiba ingin merasakan yang namanya punya pacar. Ketika menemukan orang-yang dirasa-tepat, ia sampai mencurahkan dan menaruh impian besar pada yang namanya percintaan. Alma tidak tahu, jika mencintai...