Galan hendak mengenakan earphone, ketika tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundaknya dari belakang.
“Pagi!” Kepalanya dimiringkan sambil tersenyum seperti sedang menyapa anak kecil.
“Kay? Pagi juga!” sapanya, tersenyum seadanya.
Kaila seperti tidak terpengaruh dengan sikap tidak antusias yang diberikan Galan, lantas ia berkata lagi, “Selamat, ya!”
Kening Galan mengernyit heran. “Untuk?”
Gadis itu kemudian tersenyum lebar, merasa sedang menyembunyikan kebahagiaan yang besar. “Hm, jadi mereka beneran nyembunyiin dari lo, ya?”
“Maksudnya apa, Kay? Gue nggak ngerti.”
Tangan Kaila membuka resleting tasnya dan mengeluarkan kalung mendali berwarna perak dengan sebuah sertifikat. Tanpa menjelaskan terlebih dahulu, Galan menerima dan membacanya sendiri.
“Ini—” respons Galan tertahan, setelah membaca isi di dalam sertifikat tersebut. Setelah rasa syoknya menghilang, ia lantas melanjutkan, “jadi kita dapat juara tiga di lomba kemarin, Kay?”
Kaila mengangguk mengiyakan. Senyum lebarnya masih belum hilang.
“Serius?”
“Serius, Gal. Kita menang, walaupun cuma dapat juara tiga.”
“Apanya yang lumayan? Ini lebih dari cukup buat gue, yang baru pertama kali tampil di atas panggung.”
Kaila ikut bahagia melihat reaksi Galan yang sangat kegirangan seperti itu. Jika ia punya hak, atau tidak mau di muka umum, Kaila rasanya ingin sekali memeluk cowok itu dan mengucapkan banyak selamat.
“Gue sempat hilang harapan, mungkin gue emang nggak punya bakat di nyanyi.”
“Lo itu berbakat, lo hebat, kok.” Kaila menepuk-nepuk pundak Galan.
Saat masih sedang mengobrol berdua, tanpa diketahui mereka, Alma yang baru tiba di sekolah melihat semua itu. Alma berpikir, tidak enak rasanya jika mengganggu mereka. Sehingga ia memutuskan untuk berputar balik, dan berjalan menuju taman di belakang sekolah. Lagian sekarang ini, ia benar-benar ingin sendirian. Malas menghadapi orang lain, dan hanya ingin merenung diam.
Sempat berpikir untuk tidak berangkat sekolah, dengan alasan sakit. Namun, diam di rumah hanya akan membuat pikirannya semakin kacau. Semua kenangan tentang Asta ada di kamar itu. Sekarang mengingat namanya saja, sudah membuat pikiran dan hatinya campur aduk.
Sementara Galan, ingin cepat-cepat tiba di kelas. Ia ingin segera memberitahukan kabar bahagia itu kepada Alma. Namun, sesampainya di kelas mereka, Galan tidak melihat Alma ada di sana.
“Teman, Alma belum datang, ya?” tanya Galan pada salah satu murid yang ada di sana.
“Kayaknya belum tuh,” jawabnya.
Tanpa menunggu lama. Sepertinya Galan tahu Alma ada di mana, sehingga ia buru-buru pergi ke perpustakaan. Akan tetapi, ia pun tidak menemukan gadis itu di sana. Padahal ia hampir mengelilingi sudut di ruangan penuh buku tersebut, tapi tetap saja tidak ada.
“Apa dia belum datang?” Galan melihat jam dilingkar tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh pas. Lima menit lagi saja, bel masuk akan berbunyi. Jadi tidak mungkin gadis itu belum datang.
Galan mencoba menelepon nomor gadis itu. Satu kali, dua kali, sampai lima kali, tidak juga diterima. “Alma-Alma lo di mana coba?”
***
Galan melangkah di koridor menuju kelasnya dengan pertanyaan yang masih mengganggu pikiran. Ia masih bingung mencari keberadaan Alma. Namun, kebingungannya itu berganti sikap terpaku, ketika setibanya di ambang pintu, ia malah melihat Alma sudah duduk di bangku. Tengah diam sembari membaca buku.
Sontak Galan menepuk keningnya sendiri. Merasa konyol. Ia dari tadi mencari-cari, padahal yang dicari justru sedang tenang sendiri.
“Al, lo baru datang?” tanya Galan kemudian setelah berada lebih dekat, lalu duduk di samping gadis itu.
“Hm,” jawab Alma sekenanya saja.
“Gue teleponin, kenapa nggak diangkat coba?” Tampaknya Galan masih kesal. Lebih lagi sikap Alma yang ketus. Benar-benar sulit ditebak.
“Hm, maaf.”
“Ya, ampun, Al. Lo sengaja, kan? Ada apa lagi, sih?” Sekarang nada bicaranya agak sedikit meninggi. Perhatian murid yang ada di kelas pun tertuju pada mereka. Mungkin mereka pikir, Galan dan Alma sedang ada masalah.
“Kamu bisa nggak, jangan dulu ganggu aku?” Untuk pertama kali, Alma mengeluarkan suara tinggi di depan banyak orang. Wajahnya terkesan serius dan terlihat memendam kekesalan. “Aku, tuh, lagi pusing, kesel. Pengen tenang. Kamu cuma bikin aku tampah pusing.”
Galan terpaku. Tidak habis pikir dengan reaksi yang Alma tunjukkan. Namun, mendadak pemuda itu kembali berkata, “Lo lagi PMS, ya?”
Ergh! Kalau saja gadis itu punya keberanian. Alma ingin sekali memukul kepala Galan agar otaknya lebih respek sedikit. “Udahlah, capek aku ngomong sama kamu.”
“Ya udah, iya. Maaf. Tapi, seneng gue bisa lihat ekspresi lo yang lain, selain diam dan cemberut.”
Sontak Alma langsung memberikan tatapan nyalang. “Bercanda. Kenapa, sih, harus dibuat serius? Kan, gue udah pernah bilang, sesuatu yang nggak baik buat kesehatan mending tinggalin aja.”
“Maksudnya?” Alma mengernyit, masih belum paham.
“Ya, itu. Cowok media sosial lo itu.” Galan terpaksa berkata lebih jelas, karena Alma ini kelewat polos dan kurang peka. “Kalau dia cuma bisanya nyakitin lo doang, mending akhirin aja, deh. Buat apa? Cuma makan hati, kan?”
Alma lantas menyeletuk dengan tampang masam, “Tanpa gue akhiri juga semua udah berakhir dengan sendirinya, kok.”
Refleks kedua mata Galan membulat sempurna. “Gimana-gimana? Gue masih belum paham tadi.”
“Nggak ada pengulangan.”
“Dih, Al.”
“Ya pokoknya, semua udah berakhir.”
“Lo udah putus?” Galan semakin penasaran.
Alma bingung juga harus menjawabnya dengan tepat seperti apa. Pasalnya, dibilang putus pun tidak. Namun, jauh dalam keadaan baik-baik saja. Hubungannya dengan Asta sudah diujung tanduk. Asta sudah mengganti password instagram, itu artinya cowok itu sudah tidak ingin Alma ikut campur dengan urusannya.
“Mungkin.”
Dalan hati, Galan bersorak merasa senang. Ia rasanya ingin jingkrak-jingkrak sambil berlari keliling lapangan. Itu artinya ia masih ada kesempatan, peluang untuk membuat Alma menjadi miliknya. Sekarang tidak ada penghalang lagi, Galan hanya perlu meyakinkan hati Alma.
“Lo sedih?” tanya Galan, yang jelas tidak berbobot bagi Alma.
“Ya iyalah, kamu pikir?”
“Ya, kan, kalian cuma pacaran online. Gue pikir nggak akan terlalu sakit hati.”
Pun, Alma terdiam sejenak. Ia menunduk dengan wajah sendu. Melihat ekspresinya yang begitu, Galan menjadi merasa bersalah. “Eh, Al. Sori. Gue nggak bermaksud buat—”
“Nggak, nggak usah dibahas. Kamu mungkin anggap semuanya cuma virtual. Tapi, buat aku yang rasain, yang baru pertama pacaran, itu beda, Gal. Aku anggap Asta nggak cuma pacar online, tapi orang yang benar-benar aku sayang.”
Mendengar kata-kata Alma, membuat Galan terdiam. Untuk sesaat ia merasa pikirannya berhenti. Menelan saliva saja rasanya sulit. Mengedipkan mata pun jadi kaku. Seperti itu dalamnya perasaan Alma buat Asta? Galan bahkan tidak berpikir sejauh itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Need-Romantic
Ficção Adolescente[END] Setelah enam belas tahun menjomblo, Alma tiba-tiba ingin merasakan yang namanya punya pacar. Ketika menemukan orang-yang dirasa-tepat, ia sampai mencurahkan dan menaruh impian besar pada yang namanya percintaan. Alma tidak tahu, jika mencintai...