Suara ketukan pintu yang lumayan keras sontak saja membangunkan Alma yang ketiduran, dengan musik masih setia menggema. Seseorang yang tampaknya tidak sabar di luar sana membuat Alma bergegas turun dari kasur dan berlari sampai ke pintu.
“Ya ampun, kamu masih pakai baju seragam? Belum ganti dari tadi siang?” Sejurus pertanyaan langsung melayang, tatkala seorang gadis dewasa—berkisar usia dua puluh tiga—memperhatikan Alma, yang baru saja membuka pintunya.
Pun, Alma yang masih dalam kondisi linglung—akibat nyawa belum kumpul hanya mampu mengucek-ngucek mata. Menggaruk tengkuknya, lalu menguap lebar. Untung saja ia masih sadar untuk menutup mulutnya dengan satu punggung tangan.
“Astaghfirullah, kamu nggak salat Ashar dan hampir ketinggalan salat Magrib juga?”
“Maaf, Kak.”
“Kebiasaan,” omelnya dengan nada ketus. “Ya udah, sekarang cuci muka, mandi, terus salat Magrib dan jangan lupa ganti salat Ashar.”
“Iya.”
Sempat mau beranjak, gadis bernama Ayana itu lantas berbalik lagi. “Ah, iya. Setelah itu langsung turun. Kita makan malam. Ayah pulang cepat hari ini.”
“Hm.”
Setelah Ayana turun turun ke bawah, Alma segera menutup pintu dan pergi ke kamar mandi. Ia merasa sangat berdosa hari ini karena mengabaikan kewajibannya.
Sementara di area dapur dan meja makan, mama dan kakaknya tampak sedang sibuk menyajikan masakan—yang baru saja selesai—ke meja makan, di mana Aaray—adik laki-lakinya sudah menunggu dengan tidak sabar, sambil memukul-mukul sendok pada piring yang masih kosong. Sedangkan papa mereka masih asik dengan ponselnya dengan televisi yang setia menyala. Kala itu, Alma baru turun dengan perhatian yang tertuju pada layar handphone.
“Ayah sama anak, sama aja. Handphone mulu yang diurusin,” sindir sang Ibu bernama Desi itu.
Laki-laki paruh baya tersebut segera menoleh dan meletakkan ponselnya di atas meja. Alma pun melakukan hal yang sama, memasukkan benda pipih itu ke dalam saku baju tidur yang dikenakan.
“Kerjaan, Ma. Nggak bisa ditunda,” jawabnya beralasan, lalu berjalan menuju meja makan. “Kalau putri Mama yang satu itu, lain hal.” Lanjutnya yang terlihat ingin menggoda.
Alma yang dimaksud, cuma diam saja lantas mengambil posisi duduk tepat di samping Aaray.
“Kak Alma pasti udah punya pacar,” celetuk anak laki-laki berusia sepuluh tahun itu yang sontak saja mendapat pukulan kecil di kepalanya dan pelototan tajam. “Tuh, kan. Dia pasti malu.”
“Apaan, sih? Mau Kakak nggak kasih uang jajan?” ancam Alma.
“Yah, jangan, Kak,” rengeknya lalu cemberut. Meskipun uang jajan yang ia dapat dari Alma, hanya berupa imbalan setelah membelikannya pulsa—walaupun harus dibujuk susah payah. Tetap saja, Aaray butuh uang jajan tambahan.
“Makanya, diem.”
“Udah, ah. Berantem mulu,” sahut Desi melerai. Namun, Ayana malah memprovokasi.
“Eh, tapi bener lho, Bu. Jangan-jangan Alma emang udah punya pacar.”
“Ih, Kakak. Jangan mulai, deh.”
Akan tetapi, Ayana tidak memedulikan peringatan Alma. “Tau nggak, Ma. Tadi pas Ana mau berangkat kerja, di gang depan sana Ana ketemu anak cowok, nanyain Alma.”
“Hah?” Alma langsung tersentak. Jangan-jangan Galan?
“Pasti itu pacarnya, Ma.”
Alma buru-buru menyanggah, “Emang kalau baru nanyain udah pasti pacar?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Need-Romantic
Fiksi Remaja[END] Setelah enam belas tahun menjomblo, Alma tiba-tiba ingin merasakan yang namanya punya pacar. Ketika menemukan orang-yang dirasa-tepat, ia sampai mencurahkan dan menaruh impian besar pada yang namanya percintaan. Alma tidak tahu, jika mencintai...