Alma masih tidak menyangka jika apa yang baru saja dilihatnya benar-benar menanggung mood-nya. Sangat berpengaruh membuat wajahnya mengkerut kesal dengan bibir cemberut. Seharusnya ini tidak perlu terjadi, lalu salah siapa? Hatinya? Memangnya kenapa dengan hatinya? Alma dibuat pusing dengan perasaannya sendiri. Ia sadar ini tidak benar, dan tidak seharusnya terjadi.
Namun, apa yang tengah membara di hatinya seakan dibuat semakin menggebu ketika tiba-tiba Sili dan Mili menghadang langkahnya. Memberi tatapan sinis seakan mengolok dirinya. Menatap penuh selidik dari puncak kepala sampai ujung kaki.
“Ck, ck, ck. Heran gue, kenapa Galan sampe mau sama lo,” ucap Mili penuh nada ejekan, sementara Sili tertawa. “Tapi, untungnya mata Galan segera terbuka.”
Kerutan itu muncul di kening Alma. Masih belum mengerti apa masud dua orang gadis tersebut.
“Kasian gue sama lo,” timpal Sili yang tanpa ragu mendorong pelan pundak Alma dengan satu jemarinya—seolah menjijikan. “Dijadiin pacar cuma jadi pelampiasan. Haha. Kocak.”
Tidak penting rasanya mendengarkan ocehan mereka, Alma bermaksud untuk kembali melangkah dan meninggalkan mereka. Akan tetapi, tidak semudah itu karena Mili dan Sili langsung menahan tangannya. Menyentakkan tubuhnya hingga berdiri tepat di depan mereka lagi.
“Kita belum selesai ngomong, ya. Jadi jangan coba-coba buat kabur dari kita,” tukas Mili. Sekarang mereka mulai jadi pusat perhatian murid yang lalu-lalang sebelum bel masuk dibunyikan. Alma merasa tidak nyaman.
“Please, aku nggak punya urusan sama kalian, jadi tolong—”
“Haha, akhirnya lo ngomong juga,” sambung Sili memotong perkataan Alma. “Gue pikir lo gagu!”
Astaghfirullah. Alma rasanya ingin marah-marah meluapkan emosi yang menekan hati dan kesabarannya.
“Kan, kita udah bilang buat lo ngaca diri. Darin seujung kuku pun, lo itu nggak pantes buat Galan. Untung aja Galan cepet sadar. Sekarang dia udah kembali, tuh, sama Kaila.”
Deg. Jantung Alma berdenyut cepat dan terasa agak sakit. Tanpa perlu mereka jelaskan dan memanasi pun Alma sudah sadar diri. Dan lagian kenapa ia harus peduli?
Masa bodoh. Ia pun mengabaikan ucapan Mili dan Sili dan kali ini memilih berlari untuk menghindari mereka. Mereka berdua seakan puas karena sudah mengucilkan perasaan Alma, dan tertawa mengiringi kepergian gadis itu.
“Emang enak!”
Dongkol di hatinya masih terasa sampai Alma tiba di kelas. Di kursinya ia segera duduk dan menaruh tas di atas meja. Segera ia merogoh ponsel di dalam tas dan mencari nama Asta. Tanpa ragu gadis itu langsung mengirimkannya pesan.
Aku kesel.
Marah.
Kenapa orang suka seenaknya seperti itu?
Seakan aku ini nggak punya hati.
Padahal aku ini rapuh.
Kenapa mereka kayak gitu.Alma menggerutu di chat room-nya dengan Asta. Ia tidak tahu harus meluapkannya pada siapa lagi, selain pada pemuda itu. Sekitar matanya jadi memanas. Ia rasanya ingin menangis, kalau saja tidak malu pada teman satu kelasnya.
Gadis itu agak menyesal. Harusnya ia pergi ke toilet atau perpustakaan lagi yang lebih aman, agar ia bisa mengeluarkan unek-unek dalam hatinya. Ditahan seperti itu rasanya membuat tambah sakit.
Namun, tidak lama, Asta membalas pesannya.
Lho, Al. Kamu kenapa?
Kamu ada masalah?
Ada yang nyakitin kamu?
Siapa, kasih tau aku?
Biar aku marahin dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Need-Romantic
Ficção Adolescente[END] Setelah enam belas tahun menjomblo, Alma tiba-tiba ingin merasakan yang namanya punya pacar. Ketika menemukan orang-yang dirasa-tepat, ia sampai mencurahkan dan menaruh impian besar pada yang namanya percintaan. Alma tidak tahu, jika mencintai...