Pulang sekolah sore ini, Alma merasa sangat lelah. Mungkin karena terlalu banyak mengeluarkan energi, menanggapi celotehan dan guyonan teman-temannya Galan, yang tidak ada matinya. Meskipun begitu, Alma merasa dirinya bebas berekspresi. Tanpa beban yang mengganggu pikiran.
Kendati masih saja, setiap memasuki kamar, dadanya menjadi sesak. Kenangan dan perjalanan cinta yang singkat itu semua terekam di dalam sana. Ruangan berukuran tiga kali tiga meter tersebut adalah saksi. Bukti tanpa suara, jika benar Alma pernah berkenalan dengan seorang pemuda bernama Asta, dan memutuskan untuk berpacaran. Tidak ada yang tahu secara mendalam, kecuali seluruh benda yang ada di kamar itu.
Langkahnya mulai gontai. Mengambil posisi duduk di tepian kasur. Merentangkan kedua tangan ke belakang, sampai menumpukkan kedua telapak tangan di atas benda empuk tersebut. Wajahnya menengadah, menatap ke luar jendela. Matahari sudah akan tenggelam, seharusnya pikiran tentang Asta juga ikut tenggelam—tanpa harus terbit lagi.
Kedua kakinya lantas berayun. Menutup kedua matanya sejenak, menghirup udara sore yang masuk melalui jendela yang masih terbuka. Pekat sekali rasanya, tidak sejuk seperti embun pagi. Berat itu masih ada. Ikhlas memang sulit. Tidak semudah berkata-kata.
Sehingga tanpa terasa air bening mengalir dari ujung matanya. Tidak terlalu deras seperti hari-hari kemarin, tapi setiap sentuhan yang keluar terasa menyayat sampai ke ulu hati. Andai saja waktu bisa diulang, Alma menginginkan satu hal, ‘Tidak perlu mengenal Asta, jika berakhir luka.’
Namun, apa hendak dikata? Alma hanya manusia biasa yang tidak luput dari silaf dan dosa. Takdir sudah menggariskan, dan Asta merupakan bagian dari perjalanan hidupnya. Tidak apa jika tidak semulus cerita romantis yang berakhir bahagia. Setidaknya Alma sudah belajar caranya mencinta dan memendam luka.
Kemudian kedua matanya terbuka kembali. Sesak yang dirasa hampir saja membuatnya kehilangan napas. Alma lantas mengembuskan napas panjang. Ia sudah bertekad dan tidak akan menyerah begitu saja.
Diraihnya ponsel yang sejak pagi masih berada di tempat yang sama. Menyalakan data dan menunggu beberapa saat, tapi tetap tidak ada notifikasi dari Asta. Terlalu bodoh jika Alma terus saja mengharapkannya. Asta sudah menghilang, bahkan tanpa kejelasan.
Akhirnya tanpa pikir panjang, masih dengan berat hati, Alma memblokir nomor Asta dan menghapus dari kontak ponselnya. Bahkan lebih dari itu, Alma pun menghapus akun instagram dan memblokir akun Asta. Mulai hari ini ia hanya akan menganggap semua tentang cowok itu hanya kenangan, yang semestinya tidak patut untuk dikenang.
“Selamat tinggal. Aku memang menyesal karena kita berpisah, bahkan sebelum berjumpa.” Senyum sinis itu terukir jelas, menutupi perih yang entah dengan apa bakal sembuh seketika.
Asta. Waktu kita untuk saling mengenal mungkin singkat. Nggak lebih dari empat puluh hari. Tapi, semua itu udah buat aku yakin, kalau kamu pernah berada di tempat spesial di hati ini.
***
Tampaknya, Alma bersungguh-sungguh ingin memulai hidupnya yang baru. Menikmati setiap menit tanpa rasa takut, curiga, dan kesepian. Kesedihan yang selama ini ia rasakan, tidak akan pernah terbawa-bawa lagi dan membuatnya menjadi sosok tanpa masa depan. Suram, tidak bersemangat.
Pun, Alma sangat bersyukur karena Tuhan memberinya sosok teman seperti Galan. Yang tanpa pilih kasih berteman dengan siapa pun orang.
Kali ini Alma berjalan dengan penuh percaya diri. Menegakkan wajah, tanpa harus menunduk lagi. Tersenyum sumringah pada siapa saja yang tanpa sengaja berpapasan dengannya. Beberapa mungkin heran dan terkejut dengan sikap ramah yang baru saja ditampilkan Alma, tapi masa bodoh. Alma belajar tidak terlalu memedulikan pendapat orang lain, selama ia merasa apa yang sedang ia lakukan adalah benar.
“Eh, ada yang merasa jadi Ratu, nih, sekarang!” sindir Mili yang masih saja memendam kejengkelan pada Alma.
Gadis itu memang menghentikan langkahnya, bermaksud mendengarkan semua celotehan Mili, Sili, dan teman-temannya.
“Merasa paling cantik dan menarik karena bisa deket sama Galan. Padahal, mah, ieuh! Nggak banget, jijik gue.” Sili ikut-ikutan mengolok.
“Iri? Bilang Bos!” timpal Galan yang tiba-tiba saja muncul dari arah belakang Alma. Bukan hanya gadis itu, para biang gosip di sekolah pun ikut terkejut dengan kedatangannya.
“Galan, kamu baru datang juga?” tanya Alma, yang seakan tidak terpengaruh dengan ucapan Sili dan Mili.
“Yes. Mau ke kelas bareng?” balas Galan seraya menjulurkan telapak tangan ke depan.
Alma mengangguk, dan tahu maksud cowok itu, untuk segera menyatukan telapak tangannya agar mereka bisa saling menggenggam. Melihat reaksi yang spontan tersebut, tak ayal Mili dan Sili langsung melotot dan hampir pingsan saat itu juga. Sementara Galan dan Alma hanya bisa menahan tawa, sambil melanjutkan langkah seraya bergandengan tangan.
***
Seperti biasa, Galan akan mengajak Alma berkumpul di kantin saat istirahat bersama teman-temannya. Galan merasa senang dan sedikit lega, karena sekarang sedikit-sedikit Alma sudah mau berinteraksi. Bukan hanya numpang hadir dan menjadi patung. Namun, mau bicara, mengeluarkan sedikit pendapat, dan tertawa dengan lepas.
“Mau pesan apa, Al? Biar gue pesenin.”
“Cieelah, Alma aja yang ditanya, kita kagak?” timpal Kevin pura-pura kecewa. Padahal maksudnya menyindir.
“Kalian punya kaki, tangan, mulut, kan? Ya udah, pesen aja sendiri,” pungkas Galan tidak mau kalah.
“Alma juga punya.”
“Iya, Gal. Udah, biar aku juga ikut pesan.”
“Eh, jangan! Nanti lo capek.”
“Prikitiw, ada yang perhatian, nih!”
Diledek seperti itu, Alma jadi tersipu malu dan merasa canggung. “Kalian kenapa, sih, ribut banget,” protes Alma. “Kayak anak ayam belum dikasih makan.”
“Persis,” sergah Galan membenarkan.
“Kalau kalian males, udah sini biar aku yang pesenin.”
“No-no! Jangan, Al. Kan, ada Babang Galan. Udah biar dia aja, tadi dia juga, kan, yang nawarin.”
“Ah, sue kalian semua.” Walaupun merasa kesal dan berat hati, Galan pun akhirnya pergi juga untuk memesan makanan.
Ketika sedang menyantap makanan saja, Kevin cs tidak berhentinya terus membuat Alma tertawa sampai perut rasanya sakit sekali.
“Eh, gaes. Gue punya tebakan.” Aryan tiba-tiba bersuara. “Huruf-huruf apa yang kedinginan?”
Sementara dengan asal ceplos, Kevin langsung menjawab, “Huruf yang merindukan kehangatan.”
“Salah!” sentak Aryan yang tanpa ragu menoyor kepala Kevin.
“Apa dong?”
“Nyerah, ya, nyerah?” katanya sambil menunjuk satu-satu temannya. “Huruf B, dong!”
Untuk sejenak meja di pojokan kantin itu terdiam, mencerna dahulu perkataan Aryan, dan setelah mengerti baru tertawa sampai terbahak-bahak.
“Maksud lo AC?”
“Yoi.”
“Gue punya juga,” sela yang lain, yang mendadak mendapatkan ilham. “Kenapa cicak mutusin ekornya tiba-tiba?”
“Emang udang takdir alam,” jawab Galan sekenanya.
“Ya nggak lah, kenapa coba harus tiba-tiba, kan, bisa dibicarain baik-baik.” Gelak tawa langsung menggelegar lagi. Alma sampai tersedak, untung Galan sigap mengambilkan minum.
Kevin yang melihat sikap Galan, langsung memberi komentar, “Gal, kalau mau mengutarakan, utarakan aja. Nggak perlu lo menghadap ke selatan.”
Awalnya mereka agak sedikit telmi, terutama Galan. Namun, Alma yang mengerti langsung batuk-batuk lagi. Setelah berpikir lama, akhirnya Galan paham. Sehingga tanpa tanggung, cowok itu langsung menjitak kepala Kevin, disambut tawa yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Need-Romantic
Genç Kurgu[END] Setelah enam belas tahun menjomblo, Alma tiba-tiba ingin merasakan yang namanya punya pacar. Ketika menemukan orang-yang dirasa-tepat, ia sampai mencurahkan dan menaruh impian besar pada yang namanya percintaan. Alma tidak tahu, jika mencintai...