11 ~ Officially Dating

30 10 0
                                    

Jika bisa dikatakan secara gamblang, di dalam tubuhnya seperti ada genderang yang bertalu-talu—bising sekali hingga memekakkan telinga. Degupnya benar-benar terasa. Rongga dada seakan menyempit, sementara hawa panas mulai menjalar ke seluruh badan. Bisa-bisanya di malam yang dingin itu keringat muncul, membasahi telapak tangan, kening, dan hidungnya. Alma sudah tidak nyaman bergerak. Sungguh salah tingkah dengan pernyataan cinta yang hanya diterima lewat ketikan tersebut.

Karena jemari dan pikirannya masih tremor. Alma jadi lambat dan tidak segera membalas chat dari Asta tersebut. Ia masih berusaha mengontrol pergerakan hatinya. Sementara gadis itu langsung tersentak begitu kuat ketika teleponnya bergetar dan menerima panggilan video dari Asta.

“Hah?! Gimana ini?” ucapnya bingung dan panik, sementara Asta terus saja berusaha melakukan video call dengannya. “Duh, Al. Lo harus berani. Berani, Al.”

Alma merapalkan kata-kata penyemangat tersebut seraya mengelus dada, membuang dan menarik napas beberapa kali dengan cepat. Setelahnya ia bangkit dari kasur menuju meja rias. Mencari sisir dan menatap diri di depan cermin. Setidaknya air wudhu tadi sudah cukup membuat wajahnya sedikit bersinar, tidak bengap seperti baru bangun tidur.

Setelah dirasa sudah baik dan siap, Alma kembali ke kasurnya dan dengan keberanian ekstra menggeser icon telepon berwarna biru tersebut. Rasa gugup dan groginya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata ketika wajah cowok bernama Asta, yang selama ini hanya ia kenal lewat ketikan dan suara, kini terpampang jelas di depan matanya.

Ya, dia begitu tampan dengan senyumnya yang manis. Matanya yang sipit, hidungnya yang mancung, apalagi dagunya yang runcing, dan bibirnya yang unik berbentuk seperti bibir bebek. Seksi, pikir Alma dalam hati—yang tersenyum malu-malu bahkan tidak berani menatap lurus ke mata cokelat terang milik pemuda beralis tebal tersebut.

”Hay, selamat ulang tahun!” ucapnya kemudian membuat jantung Alma serasa mau copot. Suara lebih indah didengar dipadu senyum yang benar-benar memabukkan dari pipi bolanya.

”O-o, iya. Terima kasih.” Alma terus menunduk, tidak berani menegakkan wajahnya.

“Lihat ke sini dong! Kok, nunduk mulu. Gue, kan, pengen lihat wajah lo secara detail juga.”

Mendengar pernyataan itu, Alma sungguh dilanda rasa malu yang teramat sangat. Sehingga dengan hati-hati ia menaikkan wajahnya sampai bisa bertahan menatap wajah Asta yang memang sangat tampan.

Senyum Asta kemudian terukir dalam. “Manis, seperti namanya.”

“Hm?” Alis Alma terangkat. “Terima kasih.”

“Makasih mulu, tapi gue beneran tau.”

Sontak Alma mengangguk. “Ngomong-ngomong kamu biasa bangun jam segini?”

“Haha, mana bisa.” Asta tertawa merasa lucu. “Gue ini kebluk banget. Mana bisa bangun di pagi buta begini kecuali memang dari semalam belum tidur.”

“Hah? Jadi kamu belum tidur?”

Asta menggeleng mengiyakan. “Sengaja.”

Wajah Alma berubah panik. “Apa nggak pusing? Begadang itu nggak baik buat kesehatan.”

“Ya, gimana dong. Gue sengaja terjaga malam ini buat lo.”

“Hm?” Lagi-lagi Alma dibuat baper. “Kenapa gitu?”

“Ya buat ngucapin selamat ulang tahun, tapi ternyata di jam dua belas itu lo nggak aktif. Tanggung juga gue tidur, dan belum ngantuk akhirnya keasikan main game sampai jam tiga tadi. Lo bales, deh, chat gue. Ya udah sekalian bablas aja.”

Entah Alma harus bahagia atau merasa bersalah dengan pengakuan Asta.

“Lo masih ngantuk, ya? Apa mau tidur lagi?”

“Enggak, kok. Aku mau langsung nunggu subuh biar nggak kesiangan.”

“Em, gitu. Lo solehah banget, ya.”

Dipuji seperti itu kedua pipi Alma langsung merona. “Apaan? Nggak, kok. Aku nggak solehah. Jauh malah.”

Asta kemudian tertawa lagi, kali ini agak miris. “Kalah jauh dibandingkan temen-temen cewek gue di sini. Em, gue juga, sih, kadang suka ninggalin salat bahkan nggak inget waktunya salat.”

Alma agak terpaku, lalu kembali berkata, “Kamu bisa ubah kebiasaan buruk itu secara perlahan, kok. Yang penting sekarang kamu tanamkan dalam hati jika salat itu adalah kewajiban.”

Pemuda yang mengenakan kaos hitam itu lantas mengangguk. “Lo bisa bantu bimbing gue, kan?”

“Apa? Nggak bisa.”

“Kenapa?”

“Maksud aku, kamu harus minta bimbingan sama seseorang yang lebih tepat di bidangnya, misal Ustadz atau Pak Kiyai. Ilmu mereka sudah tinggi, sementara aku, masih banyak dosa.”

“Haha, iya. Tapi, kamu bisa jadi pengingat, kan, buat aku? Ingetin aku buat salat, mau, kan?”

Setelah berpikir sejenak, Alma kemudian mengangguk. “Baiklah, semampuku akan aku coba.”

“Makasih, ya. Aku malu sebenarnya.”

“Jangan malu, selama masih ada kemauan untuk memperbaiki diri sebelum menyesal. Semangat!”

Alma menyunggingkan senyumnya, begitupun dengan Asta. Keadaan itu membuat mereka seakan diserang kecanggungan. Menjadi saling diam seperti berpikir untuk mencari topik pembicaraan berikutnya.

“Oh, iya. Soal pernyataan gue di chat tadi—” Ekspresi Alma langsung berubah tegang. Sedangkan Asta terlihat begitu serius. “Apa jawabannya?”

“Hm?” Alma benar-benar mematung seperti patung, berbanding terbalik dengan sesuatu di dadanya yang kembali ribut.

“Jadi gimana, Al? Lo mau, kan, jadi pacar gue?” Kedua mata Alma membeliak, tidak sanggup untuk menjawab. “Gue serius, Al. Gue rasa lo bisa bawa perubahan positif dalam diri gue.”

Alma masih diam. Kinerja syaraf di otaknya seakan berhenti dan tidak bisa mencerna perkataan dengan sangat baik.

“Memang, kita belum lama kenal dan lo pasti masih punya keraguan. Tapi, bisa kita coba, kan?”

Gue mau, Asta. Mau. Andai saja Alma bisa mengungkapkan kata-kata yang mandek di lidahnya itu.

“Gue janji, bakal jadi pacar lo yang baik. Gue juga akan berubah lebih soleh lagi, asal ada lo yang selalu nyemangatin.”

Alma lantas mengembuskan napas panjang. Berusaha menetralkan perasaan dan detak jantungnya untuk lebih terkendali. Setelah menimbang berulang-ulang, akhirnya ia mengangguk juga.

“Apa? Bilang, dong.”

Gadis itu jadi malu diperhatikan seperti itu. Asta benar-benar memanfaatkan situasi itu untuk menggodanya.

“Ya, itu.”

“Apa?”

“I-iya, iya aku mau.”

“Mau apa?”

“Asta!” geram juga, akhirnya Alma merengek dan reaksi itu justru membuat Asta tertawa.

“Maaf-maaf.” Pemuda dengan gaya rambut belah tengah itu masih belum bisa menghentikan tawanya. Habis lucu melihat Alma dalam kondisi gugup dan malu seperti itu. Jika berada di dekatnya, Asta pasti sudah mencubit pipi dan memeluknya gemas. “Kamu lucu, aku suka.”

Semakin menjadi, Alma semakin tidak bisa mengontrol diri. Asta membuat bunga-bunga indah yang bermekaran berguguran di hatinya. Apa-apaan, ini? Aku benar-benar jatuh cinta.

“Jadi, tepat di hari ulang tahun lo—eh, kamu—yang ketujuh belas, kita resmi pacaran, ya?” Alma mengangguk, tersipu malu. “Wow, menakjubkan. Ini pertama kalinya aku suka cewek lewat media sosial. Karena kamu spesial.”

nuraiqlla
11 Juli 2021
15:02 WIB

Need-RomanticTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang