17 ~ My Ex

30 13 21
                                    

“Mulai besok gue harus udah fokus latihan,” ujar pemuda berlesung pipi itu membuka obrolan, kala ia dan Alma tengah berjalan beriringan di koridor, dari perpustakaan menuju kelas mereka. “Gue nggak sabar pengen tampil di atas panggung. Disaksikan banyak orang yang mendukung, seperti impian gue waktu kecil dulu. Tapi gue juga degdegan. Takut bikin kesalahan, yang akhirnya jadi fatal.”

“Tumben, seorang Galan nggak percaya diri,” celetuk Alma memberi respons.

Ia lantas mengembuskan napas panjang. “Kalau aja dulu gue dapet dukungan dari orang tua, mungkin sekarang tempat gue bukan di sini. Tapi di sekolah musik ternama.”

Alma mencerna sejenak perkataan Galan, kemudian ia penasaran akan satu hal. “Ngomong-ngomong kenapa kamu pengen jadi penyanyi?”

“Dulu, waktu kakak masih ada, dia sering banget ngajak gue datang ke konser-konser penyanyi ternama. Kalau nggak salah umur gue sekitar delapan sampai sepuluh tahun. Kakek juga pinter banget main piano, dia sering nunjukin itu depan gue. Lagu apapun dia bisa mainkan, terutama lagu favorit pada masanya dulu. Kakek juga ngenalin gue sama banyak lagu dan penyanyi zaman dulu. Sejak itu, gue rasa seni itu mengasikkan. Bisa jadi healing buat gue yang semasa kecil sering ditinggal orang tua karena sibuk kerja.”

Alma mangut-mangut dengan perasaan kagum sekaligus penasaran dengan sosok sang Kakek. Beliau pasti seorang panutan yang hebat dan menginspirasi, sampai anak kecil seperti Galan kala itu bisa bercita-cita ingin sepertinya.

“Yah, sayang banget. Lo tau kan, Papa dan Mama nggak dukung cita-cita gue itu. Katanya gue harus jadi dokter.”

“Sedih pasti, sesuatu yang kita inginkan tiba-tiba nggak dapat dukungan orang tua.”

“Bukan lagi,” timpal Galan, “gue ngerasa tertekan. Cuma, ya, orang tua gue mana mau tau.”

Mereka membisu untuk sejenak. Lantas Alma mengingat sesuatu lagi yang penasaran ingin ia tanyakan. Meskipun awalnya ragu-ragu, tapi kemudian gadis itu membuang egonya dan segera bertanya, “Kalau Kaila. Kenapa kalian bisa dipasangkan jadi teman duet?”

“Oh, kalau itu?” Kedua ujung alisnya naik sejenak. “Karena perwakilan sekolah hanya dipilih tiga orang, sementara ada empat peserta yang berpotensi, akhirnya gue dan Kaila ngalah dan mengajukan diri untuk membuat grup duo. Juri setuju, dan jadilah.”

Alma hanya mengangguk-anggukkan kepala seraya bibirnya yang membentuk huruf O. Menilik reaksi Alma, Galan lantas memikirkan hal usil.

“Kenapa?” tanyanya sambil menyiku lengan Alma. Kedua alisnya dengan cepat dinaik-turunkan.

“Hah? Nggak, kok. Aku cuma nanya.”

“Nanya, pengen tau doang, atau cemburu?” tuduhnya yang sontak membuat gadis itu menoleh dengan mata melotot. Kaget saja Galan bisa mengatakan itu, sementara jantungnya jadi berdegup agak cepat. Salah tingkah sampai jadi gugup sendiri.

“A-apaan, ih? Enggak, kok. A-aku, kan, cuma tanya,” jawab Alma yang berusaha menghindari tatapan Galan.

Sebenarnya Galan tidak percaya begitu saja, tapi ia cukup senang dan tersenyum lebar mendapati reaksi Alma yang mendadak tidak bisa tenang itu.

“Pokoknya di pekan raya nanti lo harus datang dan dukung gue, oke?” tandasnya yang seakan tidak menerima penolakan.

“Hm?” Alma menoleh dan menatapnya polos. Rasa-rasanya saat seperti itu, wajah Alam benar-benar bertambah manis. Pun, ia segera mengangguk. “Pasti.”

Thanks.

Lagi Alma mengangguk dengan senyumannya. “Gue akan dukung selama itu baik.”

Need-RomanticTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang