Satu

10.4K 1.4K 242
                                    

"Apa akhir minggu ini kamu bisa ke rumah? Orang tuaku minta bertemu."

Attar berdecak gusar sebelum menyimpan kembali ponselnya di bawah bantal tanpa berniat membalas pesan itu. Seloyang pizza yang isinya tinggal separuh di atas bed kamar jaga lebih menggoda imannya. Perutnya lapar tak terkira.

"Raya menggugat cerai."

"Ha?" Kunyahan Attar sontak terhenti. "Lo serius?"

"Apa gue kelihatan sedang bercanda?" Ronald meneruskan makannya seolah-olah kata cerai yang baru saja terlontar dari mulutnya tidak mempengaruhinya. Namun, ada ketegangan dalam nada suaranya. "Gue nggak nyangka akhirnya akan seperti ini."

"Kok, bisa? Raya berselingkuh?"

"Perselingkuhan bukan satu-satunya penyebab perceraian, Tar, dan menurut gue itu bukanlah yang terburuk."

"Jadi?"

"Gue pikir kami baik-baik saja. Tapi kayaknya gue salah. Tanpa sadar, kami seperti memelihara badai."

Mendadak saja sisa pizza dingin yang mereka pesan beberapa menit sebelum operasi terakhir itu jadi tak membangkitkan selera. Nafsu makan Attar perlahan lenyap. Perutnya yang tadi bergemuruh selama berada di ruang operasi—sempat diledek oleh konsulennya—tiba-tiba hening. "Gue nggak tahu harus bilang apa," timpalnya sungkan.

"Nggak usah dipikirin." Ronald tertawa sumbang. "Gue sudah punya firasat ini akan terjadi."

"Lo baru nikah tiga tahun dan sekarang bercerai?"

"Bill Gates menikah selama dua puluh tujuh tahun dan tetap bercerai."

"Alasannya apa, sih?"

"Kami bertengkar hebat. Raya akhirnya sadar, menikah dengan seorang dokter bukan hal yang menyenangkan." Ronald mendesah, "Dia mengakui menikah dengan gue adalah prestasi besar, prestisenya tinggi di mata teman-temannya. Padahal sedari dulu dia tahu resikonya kalau gue nggak akan punya banyak waktu untuknya."

"Nggak mungkin!" seru Attar sangsi.

"Begitulah pengakuan Raya." Kepedihan membias samar di bola mata Ronald. Pengakuan istrinya bahwa pernikahan mereka karena prestise membuat hatinya berdenyut nyeri. Sungguh alasan yang kekanak-kanakan sekali!

"Mungkin itu hanya emosi sesaat. Kalian sama-sama masih muda," kata Attar menenangkan.

"Tadi pagi gue menerima panggilan sidang."

"Damn!" Attar mengumpat. Ronald dan Raya menikah tidak lama setelah Ronald mendapatkan STR–nya dan mengabdi di sebuah rumah sakit. Mereka dulunya berpacaran sejak kuliah dan sempat cekcok beberapa kali. Attar tidak menyangka, pernikahan tak kunjung mendewasakan mereka. Hubungan yang dijalin bertahun-tahun pun terancam bubar di ruang sidang pengadilan agama.

"Lo tahu sendiri, jadwal residen itu biadab sekali. Raya nggak terima itu. Di dalam bayangannya, gue selalu ada saat dia butuh. Gue sering tertidur kala dia menceritakan lucunya tingkah anak kami. Gue bahkan sudah lupa kapan terakhir kali kami melakukan itu. Lo pasti ngerti, kan, maksud gue?"

Attar mengangguk.

"Raya jenuh dan kesepian. Klise, huh?"

"Gimana dengan anak kalian?"

"Sudah pasti ikut Raya. Saat anak gue demam dan dirawat, gue sama sekali nggak ada buat dia. Shit!" umpat Ronald pahit.

Attar terdiam. Ya, ia tahu, mengatur ritme keseharian sebagai residen bedah bukan perkara mudah. Butuh mental sekuat baja untuk saling mengerti dan memahami.

Imperfect Romeo (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang