Empat Puluh Empat

4.9K 1.1K 207
                                    

Perkara rezeki adalah misteri besar. Entah karena sertifikat pengalaman magang atau sedang beruntung, satu minggu berselang setelah kembali berstatus pengangguran, Aretha menjalani tes kompetensi dan wawancara di dua perusahaan sekaligus. Perusahaan pertama terpaksa ia tolak karena gajinya terlalu kecil. Bukannya bermaksud idealis, tetapi bayarannya tidak sepadan dengan pengeluarannya sehari-hari. Tawaran kedua ia terima pada sebuah software house dengan status pegawai kontrak.

Posisinya pun meleset dari target. Bila saat magang ia mengisi kursi front-end developer, kini ia menduduki posisi sebagai junior sofware engineer. Pekerjaannya masih seputaran coding dan kawan-kawannya. Selain itu juga ada banyak hal baru yang harus ia pelajari. Paling tidak ia bisa menjadikannya pengalaman atau batu loncatan menuju karier berikutnya.

"Ah, sial!" umpat Aretha kesal. Kakinya menendangi bagian bawah mesin ATM. Berkali-kali ia mencoba, namun layar mesin itu masih menunjukkan tulisan yang sama.

"Non kenapa atuh marah-marah?" tegur Mang Ajang sekeluarnya Aretha dari dalam bilik ATM tidak jauh dari rumah. Laki-laki itu menstarter motornya melihat kedatangan Aretha.

"Kartunya terblokir, Mang," sahut Aretha lesu. Siapa lagi yang punya kuasa memblokir kartu ATM-nya kalau bukan ibunya? Ibunya punya teman dekat seorang manager bank tempat Aretha menyimpang uangnya. Mungkin ibunya berharap, bila ia tidak punya uang, maka ia akan merengek pulang. Hah, nggak sudi!

"Kok, bisa? PIN-nya salah?"

"Bukan, Mang. Diblokir nenek lampir!"

"Oh." Mang Ajang mangut-mangut. "Mamang baru tahu nenek lampir zaman sekarang udah bisa main ke bank," lanjutnya polos.

"Bukan, Mamang. Ih!"

"Bercanda." Mang Ajang mengangkat jarinya. "Terus gimana, Non?"

"Nggak tahulah, Mang."

"Non butuh uang berapa? Mamang ada nih, Non bisa pinjam dulu."

"Tiga puluh juta, Mang."

Mang Ajang garuk-garuk kepala. "Aduh, kalau segitu mah, Mamang teh kudu jual tanah dulu atuh. Adanya tiga ratus ribu."

Aretha kembali ke rumah dengan raut masam. Ia membutuhkan uang sebanyak itu untuk membeli laptop baru. Pekerjaannya sudah semakin padat. Siang harinya ia bekerja di kantor, sedangkan di malam harinya ia berjibaku mengerjakan pekerjaan paruh waktu. Dua project yang ia kerjakan sebelumnya disambut baik oleh kliennya. Kini ia mengerjakan project ketiga yang bayarannya lebih besar.

Laptop pemberian Attar sudah tidak mampu menjalankan aplikasi yang cenderung berat dan memakan banyak resource. Wajar saja, laptop itu produk sepuluh tahun yang lalu, mungkin dibeli kala Attar baru memulai bangku perkuliahan.

***

Pukul sepuluh malam, Aretha mengetuk pintu ruang kerja Bima dengan dua helai kertas di tangannya.

"Ada apa, Ri?" Bima melepaskan kacamata bacanya.

"Anu ... aku butuh bantuan, Om. " Dengan jantung dag-dig-dug, Aretha mengulurkan kertas di tangannya kepada Bima. "Ini proposalnya. Silakan Om pelajari dulu."

Alis Bima langsung bertaut. Kertas tersebut menunjukkan sedikit kata pengantar dan angka-angka yang Bima tidak tahu apa kegunaannya. "Proposal apa ini?"

Aretha menunduk. "Aku mau pinjam uang, Om. Tiga puluh juta."

"Kamu butuh uang? Kenapa nggak bilang dari tadi?" Bima geleng-geleng kepala. "Berapa nomor rekeningmu, biar Om transfer."

Imperfect Romeo (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang