Kembalinya rutinitas seperti biasa membuat Attar lebih tenang dan berdamai dengan keadaan. Ia tak lagi tantrum seperti bocah kala Aretha sibuk berbalas pesan dengan Galuh meski sesekali tak tahan melemparkan sindiran. Yang terpenting baginya, ia tidak kehilangan teman. Aretha tak lagi menghindarinya dan bersemangat nongkrong bersamanya di kamar. Mereka membahas kode demi kode, syntax demi syntax sampai larut malam.
Attar mengakui, memang niat awalnya meminta Aretha mengajarinya pemrograman agar tak kehilangan teman bicara. Afirmasi yang diberikan gadis itu membuat hari-harinya berwarna.
Keuntungannya lainnya adalah, programming sangat menyenangkan. Sudah lama ia tidak mengasah otak selain urusan dunia medis dan itu menjemukan. Bahasa pemrograman adalah hal baru yang membuat antusiasmenya meletup-letup.
Ia tak lagi khawatir mengenai Galuh. Rasanya, ia sudah cukup menanamkan doktrin pada Aretha tentang bahayanya berduaan berdasarkan karakter Galuh yang ia baca sebelumnya. Ia yakin Aretha tidak begitu bodoh dengan mengabaikan perkataannya. Memang common sense gadis itu cenderung buruk, tetapi Aretha adalah pembelajar yang baik. Ingatannya seperti gajah. Selain itu, ia tetap yakin hubungan Aretha dan Galuh hanya akan bertahan satu bulan saja.
Ia menyesal bersikap konyol dan merasa tersaingi oleh Galuh. Laki-laki itu sempat membuat logikanya amburadul. Toh, kualitas yang ia punya jauh lebih unggul. Attar kini malah fokus membangun kepercayaan diri Aretha, memberinya suntikan semangat, serta mengajaknya bergaul dalam lingkup pergaulan kelas atas. Contohnya, akhir minggu itu ia meminta Aretha menemaninya ke lapangan golf.
"Apa enaknya sih, main golf? Cuma pukul-pukul bola gitu doang," kata Aretha penasaran. Saat lirikan matanya mampir ke pergelangan tangan Attar, laki-laki itu tidak lagi mengenakan jam tangan yang ia belikan tempo hari, melainkan jam tangan mahal yang harganya tak masuk akal, Rolex. "Tumben Mas pakai jam tangan mahal?"
"Untuk membangun branding, Re. Kalau mau dapat ikan yang gede, umpannya juga harus gede," jawab Attar. Ia mengenakan celana panjang berwarna putih, kaus polo bewarna biru dongker serta topi. Tangan kirinya menenteng tas berisi peralatan golf lalu memuatnya ke dalam bagasi mobil.
"Mancing ikan pakai jam tangan?" Kening Aretha langsung berkerut. "Mas mau main golf atau ke kolam ikan?"
"Ck! Mancing duit, Tuan Putri, bukan ikan. Dasar oneng!" Attar menggerutu sembari membuka pintu mobilnya. "Ayo."
Di dalam perjalanan, Attar menjelaskan bahwa golf identik dengan olahraga orang kaya. Padahal, belum tentu demikian. Sama seperti olahraga lainnya, golf juga membutuhkan skill, konsistensi, dan konsentrasi. Golf membantu pemainnya dalam melatih strategi dan taktik, mengelola emosi, melatih kesabaran serta meminimalisir ego.
"Mungkin golf terdengar membosankan bagi anak muda, sehingga olahraga itu identik dengan olahraga bapak-bapak berumur. Tapi asal kamu tahu, golf itu bukan sekadar mengayun stick dan memukul bola, tetapi membangun relasi. Banyak sekali deal bisnis terjadi di lapangan golf."
Berhubung calon kliennya bukan orang sembarangan, melainkan mantan pasien VIP di rumah sakit milik ayahnya sekaligus petinggi salah satu perusahaan farmasi, itulah sebabnya sebagai seorang broker lepas, Attar harus tampil all out agar meyakinkan. Laki-laki bernama Suryadi itu menghubunginya semalam dan mengatakan berminat membeli unit apartemen untuk investasi bagi anak perempuannya.
"Oh, begitu?" Aretha mangut-mangut. Lihatlah, dirinya masih seperti orang udik yang baru keluar dari bawah tempurung kelapa.
Setibanya di lokasi, Attar mengajak Aretha ke area driving range selagi menunggu calon kliennya datang. Beberapa menit ia berlatih memukul bola sebagai pemanasan. Setelah itu, Attar menghampiri Aretha sembari mengulurkan stick golfnya. "Mau nyoba?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Romeo (END)
RomansaAretha lari dari pernikahannya dan kabur ke Jakarta, demi menagih janji sang cinta pertama. Sialnya, begitu bertemu dengan Attaruna, malah kata-kata pedas laki-laki itu yang ia dapatkan. Tampaknya Attaruna sama sekali tidak mengingat janji yang semp...