"Have a good luck, Princess! Semangat ya!"
Isi pesan dari Attar membuat Aretha tersenyum tipis. "Thanks, Mas. Lagi apa?"
"Ganti baju. Bentar lagi masuk OK."
"Break a leg!" balas Aretha memberikan semangat. Sampai ia menyimpan ponselnya ke dalam tas, tanda centang dua abu-abu itu tak kunjung berubah warna. Sisi batinnya berbicara, beginikah rasanya punya pacar seorang dokter? Saat kau harus bersabar menunggu pesanmu baru dibalas hitungan jam kemudian—mungkin tidak dibalas sama sekali, atau saat kau menunggu telepon ajakan kencan darinya, dia malah sibuk dengan pasiennya?
Ugh, sepertinya ia harus sadar dari imajinasi yang berlebihan itu. Attar sudah menolaknya, bukan?
Tiba-tiba ia teringat percakapan terakhirnya bersama Attar semalam.
"Gimana kalau kamu kerja freelance aja?" kata laki-laki itu menawarkan. "Lumayan duitnya, kan?"
"Aku bosan terkurung dalam sangkar emas melulu." Aretha dengan tegas menolak. Pekerjaan freelance memang menghasilkan uang, tetapi prospek kariernya jalan di tempat. Ia ingin mengembangkan diri dan memperluas pergaulan. Ia ingin eksistensinya diakui orang lain. Atau katakanlah ia sedang memperjuangkan sebuah idealisme gila. Berkat tabungan dua ribu euro itu, uang bukan lagi motivasi utama Aretha. Meskipun saat uang itu habis, ia akan berakhir jadi gelandangan. Itu pula sebabnya, berjualan online seperti saran Attar adalah pilihan terakhir—yang akan ia pikirkan nanti.
"Good." Attar menyembunyikan seringaian puas. "Apa pun itu pilihanmu, yang penting kamu bahagia."
Senyuman tipis tersungging di bibir Aretha. Bersama laki-laki tukang ngomel itu selalu bermanfaat. Di balik omelannya, Attar sukses memberikan pandangan baru mengenai hidup. Attar juga membenci sifat malas Aretha, tetapi di saat yang sama juga peduli akan masa depannya. Aneh.
Berkat saran dari Attar juga Aretha berniat mendaftarkan diri di sekolah kepribadian yang masih berada di kawasan Sudirman. Attar berkata agar ia tumbuh menjadi pribadi yang lebih well mannered, percaya diri, mampu berkomunikasi dengan baik dan lain sebagainya.
Attar juga minta maaf karena belajar bersama dengannya saja sepertinya tidak akan cukup. Attar mungkin hanya bisa memberikan review karena jadwalnya sendiri sudah sangat padat. Entahlah. Yang jelas, harga untuk kelas pengembangan kepribadian dasar saja sudah sangat menguras kantong Aretha.
Tak lama kemudian, dahi Aretha tiba-tiba berkerut. Firasatnya mengatakan ia tengah diawasi seseorang.
Saat mendadak mengangkat kepala, Aretha memergoki seorang laki-laki tengah menatapnya dengan intens. Laki-laki itu buru-buru menunduk seraya menggaruk tengkuknya. Tak lama setelah itu, laki-laki itu ikut tersenyum kikuk pada Aretha.
Aretha balas mengangguk. Sesekali ia melirik dari sudut mata, laki-laki itu masih mencuri-curi pandang kepadanya. Apa aku burik banget sampai dia lirik-lirik melulu? batinnya merana.
Tepat pukul sembilan, para peserta tes dipersilakan masuk ke sebuah ruangan. Lembaran soal dibagikan. Aretha mengeluarkan alat tulisnya. Ketika aba-aba pengerjaan soal diberikan, ia pun berkonsentrasi dengan lembaran kertas di tangannya.
Sebelum tenggat waktu yang diberikan habis, Aretha sudah selesai menjawab semua pertanyaan. Ia keluar terlebih dahulu setelah menyerahkan lembar jawabannya kepada pengawas, lalu duduk di ruang tunggu untuk melemaskan otot-ototnya sejenak."Hai." Terdengar sebuah suara empuk menyapa.
Aretha mengangkat kepala, kemudian melirik ke kanan dan ke kiri, memastikan laki-laki yang tadi mencuri-curi pandang kepadanya itu memang mengajaknya berbicara. "Aku, Pak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Romeo (END)
RomantizmAretha lari dari pernikahannya dan kabur ke Jakarta, demi menagih janji sang cinta pertama. Sialnya, begitu bertemu dengan Attaruna, malah kata-kata pedas laki-laki itu yang ia dapatkan. Tampaknya Attaruna sama sekali tidak mengingat janji yang semp...