Empat Puluh Tiga

4.8K 1.1K 277
                                    

Ayah dan anak itu sama-sama duduk termenung menghadap meja makan. Di hadapan keduanya terhidang secangkir teh yang sudah dingin. Bima sibuk dengan pikirannya, begitu juga dengan Attaruna.

"Di mana Papa ketemu Tante Dayu?" kata Attar memecah keheningan. Kala ia sampai di rumah,  ayahnya sudah bersama Dayu di ruang tamu. Attar dan Dayu tidak sempat berkenalan, karena ia masuk lewat pintu garasi membawa makanan dan pasir untuk si Garong.

Bima menyeruput tehnya. "Bi Ati menelepon," sahutnya. Ia tengah memimpin rapat bersama para kepala departemen ketika Bi Ati mengabarinya akan kedatangan Dayu. Rapat tersebut ia tinggalkan begitu saja kemudian buru-buru pulang ke rumah. "Bukannya hari ini kamu jaga malam?"

"Ganti shift sama Ronald, Pa. Dia ada keperluan." Attar melipat tangan di depan dada. Tatapan matanya menerawang. "Pa."

"Hmm?"

"Kata orang, kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah. Apa benar demikian? Dari yang kudengar, Tante Dayu ... " Attar mengedikkan bahunya tak mengerti. "Aneh, kan, Pa? Dia manipulatif sekali."

Mati-matian Attar menahan geram mendengar ocehan Dayu kepada Aretha di luar sana. Sekarang ia mengerti alasan di balik sikap Aretha yang dulunya seolah-olah tak punya tujuan hidup itu. Terbersit rasa iba betapa compang-campingnya tempat bernaung yang Aretha punya. Kalau bukan karena ayahnya yang melarang ikut campur, takkan ia biarkan Dayu menjatuhkan mental Aretha sedemikian hebatnya. Ibu macam apa itu?

"Sepertinya tidak semua perempuan dikaruniani mother's love seperti cara Mama mencintai kalian. Kamu sudah lihat sendiri buktinya, kan?" Bima menggumam. "Sayangnya ada banyak ibu seperti itu di dunia ini. Mereka pikir itu cinta, tapi sebenarnya bukan."

"Tante Dayu kayak orang sakit jiwa, Pa." Teringat olehnya masa kecil samar-samar selama beberapa hari bersama Aretha. Gadis kecil itu mengekorinya, atau kalau tidak, mengekori ayahnya. Bahkan sebelum tidur pun Aretha mencari ayahnya, bukan ibunya.

"Ada luka batin di masa lalu yang belum selesai." Bima menarik napas panjang. "Trauma pengasuhan dan semacamnya."

"Papa juga sudah tahu Om Leo di penjara?"

Bima mengangguk.

"Sudah lama?"

"Ya."

"Kenapa Papa nggak pernah bilang?"

Bima melirik putranya. "Memangnya kamu pernah nanya?"

Attar mendelik jengkel. "Apa lagi yang Papa tahu?"

"Apa yang ingin kamu ketahui?"

"Kenapa Aretha dikirim ke sini?"

"Kamu keberatan?" Bima mengangkat alis.

"Bukan begitu. Maksudku, Tante Martha adalah keluarga dekat Aretha."

"Tantemu kepingin kamu yang mengarahkan Ari. Biar dia nggak manja. Biar dia terbiasa menghadapi masalahnya sendiri. Lagipula semua juga tahu, mulutmu itu nggak ada tandingannya." Bima tersenyum kecil melihat Attar membeliak menatapnya. "Sebaiknya kamu temani Ari sana. She needs you."

Attar mengerutkan dahi. Dari ekspresi ayahnya, seolah-olah menunjukkan ayahnya tahu seberapa dekatnya hubungannya dengan Aretha.

"Mungkin Retha ingin sendirian dulu," kata Attar ragu-ragu. Atau jangan-jangan dia sudah tidur?

Bima melirik jam tangannya yang menunjukkan hampir pukul sembilan. "Ari belum makan malam, nanti dia sakit. Kamu bujuklah dia."

"Ya, Pa." Attar bangkit dari kursinya, mendatangi Bi Ati dan memintanya menyiapkan makan malam untuk Aretha ke atas sebuah nampan.

Imperfect Romeo (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang