Mata Attar setengah terpicing menatap Aretha. "Siapa yang open BO?"
"Aku—"
"Berani-beraninya kamu?! Kamu butuh duit berapa banyak, HAH?!" bentak Attar dengan suara menggelegar. Darahnya mendidih ke kepala mendengar jawaban Aretha.
"Mas?" Aretha ternganga. Perlahan-lahan ia melangkah mundur ketika Attar mendekatinya. Mata lelaki itu menghunus tajam seperti harimau hendak menerkam mangsa. Saat tubuhnya tersandar ke dinding, ia memberanikan diri menjawab dengan terbata-bata, "A–aku, kan, cuma bertanya, i–itu ... open BO itu ... a–apa?"
"Seriously?" Attar mengangkat kedua alisnya. "Memangnya kamu nggak tahu?"
Aretha menggeleng takut-takut. Dan sorot mata polos itu seketika membuat Attar menyesal telah membentaknya dengan kasar. Ia baru sadar, saking kusutnya isi kepalanya, jawabannya terhadap pertanyaan Aretha tidak nyambung sama sekali.
"Maaf, Re, aku kelepasan. Aku pikir kamu ..., ah sudahlah." Attar mengibaskan tangannya gusar. "Bukan kamu yang open BO, kan?"
"Bukan, Mas." Aretha diam-diam menghela napas lega melihat sikap Attar melunak. "Jadi? Apa itu open BO?"
Attar melipat kedua tangan di dadanya. "Lama-lama aku berpikir kamu itu seperti seorang nerd, Re. Kamu nggak punya media sosial atau apalah sampai nggak tahu apa itu open BO?"
"Kalau aku tahu, aku nggak bakalan nanya, Mas."
"Di ponselmu itu ada Google, kan? Anak IT, kok, lemot begini, sih?"
Giliran Aretha yang melotot. "Aku dapat pesan ini tepat ketika Mas muncul. Daripada buang-buang waktu buka Google, mendingan aku nanya aja, kan?" Aretha memberikan ponsel yang layarnya masih menyala itu kepada Attar.
Attar meraih ponsel itu dan membaca pesan yang tertera di layarnya sekilas. "Kamu open BO nggak?"
"Siapa yang mengirimimu pesan kurang ajar seperti ini?"
"Eh? Anu ... manajer penjualan di kantorku."
"Hah?" Attar ternganga. Ia tahu, di dunia ini ada berbagai macam tipe lelaki mulai dari laki-laki alim sampai laki-laki sampah. Namun, bagaimana bisa laki-laki seperti manajer Aretha bisa lolos kualifikasi untuk memimpin suatu bidang di perusahaan bila kelakuannya minus seperti itu? Tak terbayangkan sudah berapa banyak perempuan yang menjadi korbannya. Satu lagi, sejak kapan Aretha bekerja? "Kamu kerja?"
"Ya."
"Di mana?"
"Perusahaan otomotif."
"Sejak kapan?"
"Udah satu minggu."
Attar mengembalikan ponsel Aretha. "Open BO istilah kekinian yang menyatakan apakah seorang perempuan available untuk di-booking."
"Booking buat apa?"
"Dipakai, Retha, dipakai!" sahut Attar gemas.
"Oh!" Aretha mangut-mangut. "Dipakai buat apa, ya, Mas?"
"Mati aja gue, ya Tuhan! Kamu itu selama ini hidup di goa mana, sih, kok polosnya nggak ketulungan begini?!" Attar kembali membentak Aretha. Susah payah ia memilih bahasa sehalus mungkin agar tidak terdengar vulgar, tetapi gadis itu tak jua mengerti. "Dia mau pakai kamu buat tidur, Retha. Tidur! Belum ngerti juga?"
Aretha diam seperti batu. Dibentak oleh Attar membuat otaknya tak mampu berpikir.
"Open BO itu istilah untuk prostitusi online!"
"Oh!" Begitu Aretha mengerti maksud perkataan Attar, mukanya berubah merah padam, lalu perlahan berubah kelabu menahan geram. Ia kehilangan kata-kata, hanya kuasa meremas ponsel di tangannya sampai buku-buku jarinya memutih. Kurang ajar!
"Jadi, kalau manajermu itu bertanya lagi apakah kamu open BO atau tidak, kamu tonjok aja dia sampai giginya rontok. Ngerti?!"
Attar pun masuk ke kamarnya dan mengempaskan pintu kuat-kuat. Mimpi apa dirinya bertemu gadis paling kuper sejagad raya seperti Aretha?
Aretha berjengit memandangi pintu kamar Attar yang tertutup. "Pemarah amat, sih? Perempuan gila mana yang mau jadi pacar kamu, Mas? Dikit-dikit marah, dikit-dikit ngamuk! Jangan-jangan pasienmu sama gilanya kayak kamu!" gerutunya menjauh sambil mengentakkan kaki.
Tak lama kemudian, ia terperanjat kala di belakang sana Attar keluar lagi dari kamarnya dan setengah meneriakinya dengan nada memperingatkan. "Kalau kamu sampai berani open BO, aku cincang kamu!"
***
Attar pikir, ia bisa terlelap sampai pagi. Nyatanya, tubuhnya yang lelah serta segelas susu panas yang dibuatkan oleh Bi Ati tak mampu membuat matanya berkompromi.
Pukul sepuluh malam ia bangun dari tempat tidur dan menyalakan lampu kamar. Setelah itu, ia mengotak-atik ponselnya.
"Guys, bad news or good news?" tulisnya di sebuah grup chat. Kedua temannya sedang tugas jaga malam itu.
"Bad news first," tulis Echa lima belas menit setelahnya.
"Gue dan Ringga putus."
"Hahaha! Mampus!" tulis Ronald tak berapa lama kemudian. "Good news–nya apaan?"
"Sama. Kami putus."
Sampai satu jam setelah itu, tak ada lagi jawaban dari Ronald dan Echa. Mungkin mereka sibuk dengan para pasien. Attar meletakkan ponselnya kembali setelah bosan berselancar di dunia maya.
Bicara tentang rasa bosan, ia teringat akan kata-kata Ringga. Semembosankan itukah dirinya sampai cerita tentang percintaannya hanya menyisakan kenangan?
Ia punya banyak mantan pacar. Sebelas, dua belas, tiga belas? Entahlah.
Attar menyugar rambutnya gusar. Dengan malas ia meraih ponselnya kembali. Jemarinya mengusap aplikasi Whatsapp dan mencari sebuah nama, Costa.
"Mas, apa benar saya ini membosankan?"
Lima detik setelah itu, tampak Costa mengetikkan pesan. "Banget. Situ baru sadar?"
"Apaan, dah?!" Attar melempar ponselnya. "Dasar ipar nggak punya akhlak!"
Hendak dikata apa, ia hanya bisa pasrah. Tak mungkin rasanya ia menyumpahi sang ipar yang sampai saat ini masih setia membayarkan tagihan pajak mobilnya.
Gontai ia berjalan dan membuka pintu menuju balkon kamarnya. Attar mendongak menghadap langit kelam.
Detik demi detik berlalu. Tiba-tiba saja, terdengar seseorang menyebut namanya. Suara itu sayup-sayup sampai di telinga.
Ia celingukan melihat ke kanan dan ke kiri.
"Siapa itu?" tanyanya lantang.
Hening.
"Aku di sini, Mas," jawab suara itu nyaris seperti bisikan. Tak lama kemudian terdengar suara cekikikan macam suara kuntilanak yang sering muncul dalam film horor. Desauan angin yang mengempas di pucuk-pucuk pohon mangga menambah suramnya suasana.
Bulu roma Attar seketika berdiri. Hembusan angin membuatnya merinding. Perlahan-lahan ia menarik kakinya mundur, lalu buru-buru menutup pintu kamarnya. Bahunya bergidik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Romeo (END)
RomanceAretha lari dari pernikahannya dan kabur ke Jakarta, demi menagih janji sang cinta pertama. Sialnya, begitu bertemu dengan Attaruna, malah kata-kata pedas laki-laki itu yang ia dapatkan. Tampaknya Attaruna sama sekali tidak mengingat janji yang semp...