Tujuh

5.3K 1K 121
                                    

Saat baru saja turun dari mobilnya, Attar sudah mendapati Ringga memasang tampang cemberut menyambutnya. Ia mengakui terlambat hampir setengah jam. Pagi itu Ringga menelepon dan memintanya menemani datang ke pesta pernikahan salah seorang anak pejabat di kantornya. Ia menyanggupi, hanya saja, tidak bisa datang lebih awal karena kondisi pasiennya memburuk setelah menjalani serangkaian operasi besar.

Sialnya, Ringga menolak tawarannya bertemu di lokasi pesta untuk mempersingkat waktu. Perempuan berwajah barbie yang enggan menyetir sendiri itu mengaku sopirnya sedang sakit. Padahal, apa susahnya, sih, naik taksi online saja?

"Kamu ke mana aja, sih?" gerutu Ringga seraya melirik jam tangannya yang menunjukkan tepat di angka tiga.

"Maaf, Sayang, aku telat banget," Attar terburu-buru membukakan pintu mobilnya untuk Ringga. Belum sempat ia mengecup kening gadis itu untuk meredakan amarahnya, Ringga sudah buru-buru masuk dan mengempaskan pintu.

Attar bergidik, takut pintu mobilnya copot saking kerasnya usaha Ringga melampiaskan kekesalannya.

"Kami berangkat dulu, Tante," kata Attar berpamitan pada ibu Ringga sebelum masuk ke dalam mobilnya.

"Ya, hati-hati di jalan," jawab perempuan itu.

Hampir separuh perjalanan mereka lalui dalam keheningan. Hanya terdengar kebisingan kendaraan yang berlalu lalang. Attar berkali-kali melirik pacarnya sambil sesekali menghela napas panjang dan mengembuskannya diam-diam, ragu-ragu memulai percakapan. Menghadapi Ringga belakangan butuh ekstra kesabaran. Perempuan yang awalnya ia kira sangat penyabar itu, ternyata malah yang lebih sering membuatnya mengalah.

"Kamu tahu nggak, sih, aku nungguin kamu hampir setengah jam?" ulang Ringga menyampaikan unek-uneknya.

"Iya, Sayang, maaf. Tekanan darah pasienku turun drastis—"

"Bukannya kamu nggak ada tugas jaga hari ini?" potong Ringga melirik tajam. Seharusnya, Attar pulang kemarin sore dan menikmati waktunya beristirahat sampai esok subuh sebelum tugas jaga menuntutnya kembali ke rumah sakit.

"Enggak, Sayang. Kemarin ada operasi darurat dan aku diharuskan stay on site sampai sebelum menjemput kamu tadi."

Ringga mendengus kesal. Berpacaran dengan Attar tidaklah mudah. Selalu ada alasan yang dikemukakan Attar setiap kali mereka gagal berkencan. Dan ya, ini adalah pertemuan pertama mereka sejak—ia tidak ingat—mungkin satu bulan yang lalu saking sibuknya Attar dengan pendidikannya.

Ia rasa sudah cukup bersabar menghadapi Attar. Apalagi dua minggu yang lalu Attar menolak datang bertemu dengan orang tuanya membahas masa depan mereka. Laki-laki itu bahkan tidak mengangkat teleponnya. Attar hanya mengirimkan pesan mengaku ketiduran. Keterlaluan!

"I'm sorry." Attar meraih tangan kanan Ringga dan mengecupnya lembut. Nada bersalah terdengar jelas dalam suaranya. "Maaf, ya."

Ringga mengembuskan napas kasar. Tak ada gunanya mengibarkan bendera perang. Mereka sudah hampir sampai di tempat tujuan. Tidak lucu rasanya ia turun dari mobil dan menggandeng tangan Attar dengan tampang masam.

***

Gedung pertemuan itu dihiasi sedemikian rupa dengan atribut dan bunga-bunga artistik di segala penjuru. Nuansanya megah bak fairy tale. Begitu Ringga bertemu dengan rekan-rekan kerja serta jajaran staf di kantornya, ia memperkenalkan Attar sebagai pacarnya.

Attar menyalami mereka satu persatu dan sesekali mengobrol berbasa-basi. Tak lama kemudian, ia mengajak Ringga ke meja prasmanan. Perutnya lapar tak terkira. Dan bila harus lebih jujur lagi, matanya juga berat luar biasa. Padahal sebelum berangkat tadi, ia sudah menyempatkan diri mandi dan mencuci rambutnya.

Imperfect Romeo (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang