Dua Belas

5.1K 1K 163
                                    

Selamat malam minggu 😘

"Mas Attar nggak apa-apa?" selidik Aretha mendekati Attar dengan raut cemas. Ia tak menyangka kakinya menyasar orang yang tak bersalah. Terbayang olehnya bila diusir dari rumah itu. Di mana lagi ia akan bernaung?

Attar diam saja, duduk di atas rumput dengan ekspresi tak terjelaskan dengan kata-kata. Sebelah pipinya memerah. Apelnya sudah terbang entah ke mana.

Kepalanya masih terasa pengar. Perlahan-lahan ia menggerakkan rahangnya. Sepertinya tidak ada yang serius. Dislokasi sendi, misalnya.

Jelas, ia bukan seorang olahragawan. Tinggi badannya 185 cm. Posturnya tubuhnya biasa-biasa saja, bukan postur ala iklan susu berprotein tinggi. Ia tidak memiliki perut six pack seperti Costa yang menggemari olahraga ekstrim. Lengannya berotot—sedikit—standar laki-laki kebanyakan yang tidak punya waktu berolahraga. Waktu luangnya lebih banyak digunakan untuk membalaskan dendam tugas jaga dengan tidur seharian.

Jadi, bukan salahnya kalau ia terpelanting kala Aretha menyepak rahangnya dengan tendangan mautnya. Ia tidak sedang menghibur diri. Itu ... hal yang wajar, bukan?

Normal. Ya, normal.

Namun tetap saja, untuk beberapa detik, ia merasa nasibnya tengah dipecundangi seorang perempuan. Harga dirinya dipertaruhkan. Apakah sudah saatnya ia mulai menyambangi pusat kebugaran?

Aretha membalikkan badan, setengah berlari ke rumah dan kembali dalam hitungan menit dengan dua mangkok di tangan. Satu mangkok berisikan air hangat dan satu lagi berisikan es batu. Sehelai handuk kecil bersih tersampir di bahunya.

"Maaf, Mas." Aretha kebingungan memilih es batu atau air hangat untuk mengompres pipi laki-laki itu.

"Es batu!" kata Attar ketus.

"Aku nggak sengaja." Aretha menempelkan handuk berisikan es batu ke pipi Attaruna.

Kedua bola mata laki-laki itu langsung menyipit. "Nggak sengaja kamu bilang?"

Aretha mengangguk. "Sumpah, Mas. Nggak sengaja."

"Nggak sengaja aja bikin aku jatuh, gimana kalau sengaja? Jangan-jangan aku diopname!" Attar mendengus masam.

"Nggak akan separah itu, kok." Aretha membela diri. "Cuma gerak reflek."

"Kok, bisa?" Attar terheran-heran. Gerak reflek macam apa yang menyebabkan orang lain celaka?

"Anu ... " Aretha kelihatan ragu-ragu, "... aku menguasai silat, Mas, dikit."

"Dikit kamu bilang?" Attar terbelalak.

"Iya, Mas, dikit."

"Dikit aja cukup buat bikin aku terpelanting, ya?"

Aretha diam saja seraya menekan-nekan pipi Attar dengan handuk. Untuk saat ini ia bisa bernapas lega, tampaknya Attar baik-baik saja.

Gerak reflek bagi pesilat adalah hasil tempaan dalam waktu yang tidak sebentar. Ia sendiri sudah belajar silat semenjak usia sepuluh tahun atas permintaan ayahnya, agar ia mampu menjaga dirinya sendiri saat ayahnya tak ada.

"Kamu ngapain tidur di sini?" kata Attar mengalihkan pembicaraan.

"Ketiduran, Mas."

Attar mengamati wajah Aretha. Mata gadis itu terlihat sembab. Ada jejak air mata yang sudah mengering di pipinya. "Kamu habis nangis?"

"Enggak."

"Jangan bohong."

Aretha membuang muka. Kemudian, jantungnya seakan melompat kala Attar meraih dagunya dan mengamatinya dengan lekat. Pipinya bersemu dalam keremangan.

Imperfect Romeo (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang