Dua Puluh Lima

5K 938 220
                                    

Selepas makan malam, Aretha bergegas memanjat pohon mangga di halaman belakang, tidak berani masuk kamar Attar lewat pintu depan. Ia mengetuk pintu lalu menunggu sejenak sebelum Attar membukakannya. Bayangan berduaan bersama Attar membuat semangatnya meluap-luap seperti gelembung soda.

"Kenapa nggak masuk lewat pintu depan aja, sih?" tegur Attar setelah membukakan pintu.

"Ada kamera, Mas."

"Kamu, kan, bisa ngirim pesan dulu? Lain kali jangan manjat lagi. Kalau kamu jatuh, gimana? Kamu mau tulangmu patah?" omel Attar keberatan.

Aretha nyengir. "Kan, ada Mas Attar yang jadi dokternya."

"Ck!" Attar berdecak sembari menutup pintu di belakangnya. "Oh ya, berapa skor TOEIC-mu?"

"990, Mas."

"Itu yang kamu bilang dikit?" Attar mendengus menutupi keterkejutannya, Aretha mampu memperoleh nilai sempurna.

"Umm ... entahlah. Mungkin sistem komputer pemeriksanya error, makanya jawabanku betul semua," sahut Aretha sekenanya.

"Kamu ngawur!"

Attar telah mempersiapkan segalanya. Di depan tempat tidurnya terdapat sebuah meja kecil. Di atas meja itu berdirilah monitor komputer iMac berukuran 27 inci yang biasanya terletak di atas meja belajarnya, lengkap dengan keyboard serta mouse wireless. Beberapa buah bantal juga bergelimpangan di lantai.  

Aretha duduk di lantai beralaskan karpet. Belum sempat ia mengambil bantal untuk menyangga punggungnya, terdengar Attar bicara.

"Ngomong-ngomong, kamu udah nyiapin bahan-bahan buat interview?"  

"Eh, belum, Mas." Aretha menggaruk ujung hidungnya. "Kupikir, mendingan disiapin kalau udah dipanggil aja."

"Tapi nggak ada salahnya kamu berlatih dari jauh-jauh hari, kan?" kata Attar menambahkan. "Memangnya kemampuan berkomunikasi dengan baik itu bisa terbentuk dalam satu malam? Coba kita praktik dulu deh. Anggap aja aku tim recruiter dan kamu calon karyawannya. Ingat kata Mas Yan, role play."

"Se–sekarang, Mas?" Aretha memucat. Ia tak punya persiapan sama sekali.

"Enggak, tahun depan!" jawab Attar gusar. "Ayo. Aku mau lihat attitude kamu. Soal materi wawancaranya bisa kamu siapkan besok."

"Iya deh, Mas." Aretha berdiri dan kembali mendekati pintu balkon. Ia terpaksa bertingkah layaknya artis yang sedang bermain peran bersama Attar.

Attar pun meladeninya seperti wawancara sungguhan. Ia memang tidak pernah meng–interview calon karyawan secara langsung, tetapi pernah duduk bersama tim HRD saat rumah sakit baru milik ayahnya menerima perekrutan karyawan besar-besaran.

Setibanya di hadapan Attar, Aretha menyalaminya sambil berkata, "Selamat siang, Pak. Perkenalkan, aku Aretha."

"Silakan duduk." Attar berdehem. "Aku koreksi dikit, ya, Re. Pertama, angkat kepalamu ketika berjalan, jangan menunduk-nunduk kayak kucing mau dipecut begitu. Percaya diri. Kedua, saat menyalami recruiter, jabatlah tangan mereka dengan hangat dan mantap. Tadi itu jabat tangan kamu lemas banget. Kamu belum makan atau apa?"

Attar menjelaskan, di balik sikap berjabat tangan memiliki makna tersendiri. Jabat tangan yang terlalu erat menunjukkan niat mendominasi, sedangkan jabat tangan lemas ala Aretha menunjukkan gadis itu cemas, lemah dan kurang berkomitmen. Bahkan ada juga jenis jabat tangan yang bermakna melecehkan.

"Self impression kamu bakalan kena. Jabat tangan yang lemah juga berarti seolah-olah kamu nggak tertarik, enggan, serta kurang menghargai orang lain. Jabat tangan yang hangat menunjukkan semangatmu. Satu lagi, jaga kontak mata tetap lembut dan netral, tidak menunjukkan kelemahan ataupun kecenderungan mendominasi."

Imperfect Romeo (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang