Empat Puluh

4.7K 1.1K 370
                                    

"Saya punya sesuatu untukmu." Sakti mengeluarkan sebuah kotak mungil dari dalam saku celananya, lalu meletakkannya di telapak tangan Aretha. "Buka aja."

Siang itu mereka lagi-lagi makan di luar bersama. Padahal Aretha membawa bekal makan siang, tetapi Sakti enggan menerima penolakannya.

Aretha mendorong piringnya menjauh, lalu membuka kotak tersebut dan seketika terbelalak. "Bapak ngapain ngasih saya cincin segala?"

"Kamu sudah dewasa. Pastinya selama kita berinteraksi, kamu sudah bisa membaca gelagat saya." Sakti tersenyum. "Aretha, saya menyukaimu."

"Oh!" Aretha berseru lirih. Mukanya memerah. "Kenapa Bapak suka sama saya?" lanjutnya. "Maksud saya, ini—cincinnya buat apa? Saya ... dilamar?"

"Semua terjadi begitu saja," potong Sakti terkekeh. Ia menyukai mata bulat yang polos itu. "Saya tahu ini terlalu dini. Tetapi terkadang, cinta itu sulit dipertanyakan asal muasal kehadirannya. Saat pertama kali kamu datang, darah saya berdesir. Mungkin benar, kamulah jawaban atas pencarian saya. Aretha, usia saya sudah tiga puluh tahun, bukan saatnya lagi bermain-main. Saya harap kamu bersedia bila saya ingin mengenalmu lebih dalam lagi. Sekiranya kamu menerima saya, pakailah cincinnya."

Terus terang Aretha bingung harus menjawab apa. Firasatnya tempo hari ternyata benar, perhatian Sakti bermakna lebih dari yang seharusnya. Saat berbalas pesan, laki-laki itu bukanlah seperti Galuh yang membahas gombalan receh. Isi chat-nya dengan Sakti lumayan berbobot, lebih banyak membahas pekerjaan. Dan belakangan tak jarang Sakti mengirimkan emoticon hati atau ciuman di ujung pesannya, entah itu ucapan selamat pagi atau selamat tidur.

Aretha bersyukur, masa magangnya tak sia-sia. Sakti mengajarkannya banyak hal dan Aretha pun beruntung punya mentor tak pelit ilmu seperti Sakti. Namun, pernah terjebak satu bulan bersama Galuh sudah cukup membuatnya jera.

Senin nanti adalah hari terakhirnya magang di perusahaan. Setelah itu, ia tidak tahu hendak ke mana lagi ia bawa langkahnya. Mungkin saja ia harus pontang-panting lagi mencari pekerjaan, atau meneruskan pekerjaan freelance yang sudah mulai menampakkan hilalnya. Dua malam yang lalu ia melakukan tawar menawar bersama calon klien di sebuah website pekerjaan paruh waktu dan syukurnya, ia mendapatkan proyek pertamanya. Jumlah uangnya lumayan menggiurkan bagi pemula seperti dirinya.

Haruskah ia move on bersama Sakti dan melupakan perasaannya terhadap Attar? Hey, tunggu! Bukankah tujuan utamanya datang ke Jakarta justru untuk Attar?

Ugh! Membingungkan.

"Boleh ... hmm ... saya ... pikir-pikir dulu?" sambut Aretha gamang, takut Sakti marah kepadanya. Namun, laki-laki itu menatapnya dengan ketenangan yang tak mampu Aretha selami.

"Tentu saja boleh." Sakti tersenyum manis. "Jangan merasa terbebani, ya. Kita jalani saja dulu."

***

"Re, keluar yuk."

"Ngapain?" sambut Aretha malas menyambut Attar muncul di depan pintu kamarnya. "Aku lagi kerja, Mas."

"Kerja? Kerja apaan malam-malam begini?"

Aretha hanya bisa melongo melihat Attar memasuki kamarnya lalu duduk di pinggir tempat tidur. Ia ragu-ragu apakah harus menutup atau membuka pintu lebar-lebar, kemudian mengambil pilihan kedua.

"Kemarin dapat proyek kecil-kecilan." Aretha duduk lagi di depan laptopnya. "Lumayan, Mas, $150."

"Wah, keren!" puji Attar. "Kapan deadline-nya."

"Minggu depan."

"Ya sudah, ayok," sambut Attar memaksa. "Kita makan dulu, setelah itu ke toko buku."

Imperfect Romeo (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang