Sepuluh

4.9K 1.1K 166
                                    

Dengan tergopoh-gopoh Andre memasuki kantor polisi. Setengah jam sebelumnya, ia terpaksa membatalkan kencan panas menjelang sore bersama istrinya, saat sahabatnya—klien—paling laknat sedunia menelepon. Padahal juniornya sudah sepenuhnya berdiri, tetapi perintah Costa tidak bisa ditawar sama sekali. Menjengkelkan!

Begitu sampai di ruangan yang dimaksud, tampak dua orang anggota polisi telah menunggu. Ditambah seorang laki-laki berusia pertengahan tiga puluhan yang ia tebak pengacara dari pihak lawan. Di sebuah kursi plastik yang menyandar ke dinding, seorang gadis berambut panjang menunduk memandangi kedua ujung sepatunya. Kedua tangannya berada di pangkuannya sambil memegang sebuah tas kain.

Setelah memperkenalkan diri kepada polisi, Andre mendekati gadis itu. "Aretha?"

Gadis itu mengangkat kepala. "Ya, Pak?"

Meskipun dalam posisi yang tidak mengenakkan, sorot mata gadis itu sangat tenang. Tanpa sadar, ketenangan itu membantu Andre ikut tenang.

"Saya Andre, pengacaramu." Andre menjabat tangan Aretha lalu duduk di samping gadis itu dan berbisik, "Jangan panggil Bapak, saya masih muda. Anak baru satu, istri juga baru satu."

"Bapak ... " Aretha mundur sedikit saat laki-laki itu melotot, "eh, Mas berniat nambah istri lagi?"

Andre mendelik. "Kamu mau saya cepat-cepat masuk liang kubur? Ya enggak, lah!"

"Oh, begitu." Aretha mangut-mangut, tetapi masih ada yang mengganjal dalam benaknya. "Berdasarkan ilmu linguistik, kata 'baru' yang Bapak ucapkan seakan memberi sinyal kalau Bapak, Mas, eh ... berniat menambah istri lagi."

"Maksud saya ... ah sudahlah, nggak penting." Andre mengibaskan tangannya. "Jadi, gimana ceritanya kamu bisa berada di sini?"

Dalam tempo dua menit, Aretha menjelaskan kronologisnya sampai ia digiring ke kantor polisi, termasuk pesan Whatsapp tempo hari yang untungnya belum ia hapus, juga ia tunjukkan kepada Andre. Jangan tanyakan bagaimana malunya ia saat para karyawan berbisik-bisik mengiringi kepergiannya. Ia hanya bisa menunduk. Yang ia khawatirkan saat ini adalah Seno, semoga saja kondisinya baik-baik saja. Namun, kalau laki-laki itu baik-baik saja, tidak mungkin ia sampai dilaporkan segala atas tuduhan tindak penganiayaan. Sejenak Aretha menyesal tidak mampu mengontrol dirinya.

Andre meminjam ponsel Aretha. Setelah itu, ia mendekati polisi dan lawannya.

"Jadi bagaimana, Pak? Anda tetap ingin melanjutkan tuntutan?" kata polisi itu kepada pengacara Seno.

"Tentu saja. Klien saya cidera parah. Ini tindak penganiayaan berat."

"Anda sudah tahu apa yang menyebabkan klien Anda cidera?" Andre mengangkat alisnya. Penganiayaan berat? Padahal Aretha mengaku hanya menyikut perut orang yang melecehkannya. "Berdasarkan kesaksian dari klien saya, dia dilecehkan dan apa yang dilakukannya kepada klien Anda adalah bentuk pembelaan diri. Ajaib sekali kalau membela diri saja harus masuk penjara."

"Tidak ada saksi dan bukti di tempat kejadian," bantah laki-laki itu.

"Maka saya bisa mengatakan hal yang sama bahwa tidak ada bukti dan saksi di tempat kejadian yang bisa memberatkan klien saya. Bisa saja klien Anda berbohong, kan?"

Laki-laki itu terdiam. Ia mengakui hanya bertemu dengan Seno sebentar saja sebelum laki-laki itu nekat melaporkan si penganiayanya kepada polisi. Pelecehan seksual? Ah, sial! Kenapa Seno harus berbohong kepadanya?

"Mungkin pesan ini bisa menjadi bukti sementara." Andre mengeluarkan ponsel milik Aretha. "Klien Anda mengirim pesan tidak senonoh ini kepada klien saya beberapa hari yang lalu dan dengan jelas-jelas klien saya menolaknya. Anda bisa saja melanjutkan kasus ini dengan tindak pidana penganiayaan, tetapi kami juga bisa melaporkan balik dengan ancaman pelecehan seksual. Bagaimana?" tantang Andre.

"Pelecehan seksual yang Anda maksudkan belum terbukti, Pak Andre."

"Memang belum." Andre menatap laki-laki itu lekat. "Namun kalau saya diizinkan berspekulasi, bisa jadi ini bukan pertama kalinya klien Anda melakukannya kepada karyawannya. Kita hanya perlu menggali sedikit lagi."

"Anda mengancam?" Laki-laki itu menyipitkan matanya.

"Ah, tidak juga, hanya analisa orang bodoh."

"Jadi, bagaimana menurut Anda?"

Andre menegakkan punggungnya lalu mulai memberikan penawaran yang sekiranya memperpendek masalah. Pihaknya akan menanggung seluruh biaya yang ditimbulkan akibat perbuatan Aretha, baik itu biaya medis atau biaya hidup selama perawatan atau biaya lainnya, dengan syarat lawannya mencabut tuntutannya.

"Kami tidak takut membawa persoalan ini ke jalur hukum. Tentu saja itu akan memakan waktu yang tidak sedikit. Posisi kita sama-sama sulit. Meskipun saya yakin bisa memenangkan pertarungan, akan lebih baik bila Anda juga memikirkan reputasi klien Anda. Dihantam oleh seorang perempuan itu ... terdengar sedikit menjatuhkan kredibilitas kita sebagai laki-laki, bukan?" sambungnya. "Nah, bukan hanya itu. Bila kasus ini sampai di media, karier klien Anda juga dipastikan terancam."

Laki-laki itu lagi-lagi terdiam dan membenarkan ucapan Andre dalam hati. Posisinya pun serba sulit. Kliennya telah berbohong kepadanya. Peluangnya menang cukup kecil. Ditambah lagi, yang tidak ia perhitungkan adalah, ternyata gadis yang berprofesi sebagai OB itu sanggup menghadirkan seorang pengacara. Sungguh tak bisa dipercaya.

Setelah melalui berbagai pertimbangan dan pembicaraan, serta diskusi antara pengacara Seno dengan Seno di telepon, akhirnya tercapai kesepakatan bahwa kasus tersebut tidak akan diperpanjang melalui proses hukum.

***

"Aku nggak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit Pak Seno, Pak," kata Aretha keberatan. Ketika sampai di kantor polisi, ia diizinkan menelepon seseorang dan Athalialah yang pertama kali ia hubungi. Perempuan itu menyuruhnya tutup mulut sampai pengacaranya datang. Bukan hanya untuk membayar biaya untuk Seno, bahkan untuk membayar jasa pengacara saja ia tidak punya uang tunai. "Seharusnya Bapak berdiskusi dulu denganku. Aku juga nggak punya uang untuk membayar jasa Bapak."

Andre mengangkat alisnya, tak menyangka dalam keluarga Athalia ada upik abu yang mengaku tak mampu membayar pengacara. Jangan-jangan, ia menemui orang yang salah?

"Sudahlah, diam saja. Posisimu sebagai korban juga tidak menguntungkan kalau kasusmu diperpanjang apalagi kalau sampai masuk media sosial. Orang-orang tidak waras di luar sana akan merundungmu seolah itu kesalahanmu."

"Kok, malah jadi aku yang salah?" protes Aretha tidak terima.

"Ini Indonesia, Aretha. Apa yang kamu harapkan? Kayak nggak tahu aja gimana kelakuan netizen!"

"Tapi, Pak—"

Andre memicingkan mata. "Atau kamu memang mau wajahmu wara-wiri di media sosial?"

Aretha menggeleng cepat-cepat, lalu menggosok ujung hidungnya. "Jangan, Pak!"

"Kamu panggil Bapak sekali lagi, saya sate kamu!"

"Maaf, Pak, Mas."

"Ya sudah, masuk." Andre memerintahkan Aretha masuk ke mobilnya. Sebelum mereka pergi, Andre mendekati pengacara Seno dan bertanya, "Ngomong-ngomong, seberapa parah cidera yang diderita klien Anda?"

"Klien saya menderita patah tulang rusuk."

Dan Andre pun seketika menelan ludah sambil melirik Aretha yang sedang memasang seat belt-nya. Bagaimana mungkin tubuh yang kelihatan ringkih, rapuh dan lemah itu mampu mematahkan tulang rusuk seorang laki-laki hanya dalam satu kali sikut?

Ya ampun, dia menyeramkan! 

Imperfect Romeo (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang