Dua Puluh Enam

4.2K 1K 288
                                    

Hari demi hari pun berlalu. Selain jadwal rutinnya, Aretha kini disibukkan mengikuti kelas kepribadian dua kali seminggu. Ia pantang absen satu kali pun karena sudah membayar sangat mahal. Sisa uangnya hampir ludes. Untungnya Attar berbaik hati menambah saldo di rekeningnya untuk berjaga-jaga. Hanya tinggal menunggu waktu sampai tantenya sadar ia tidak menggunakan sepeser pun uang dari kartu sakti yang diberikan perempuan itu.

Di kelas itu, mungkin Aretha peserta paling muda, plus pengangguran. Peserta lainnya rata-rata karyawan perusahaan, eksekutif muda, pegawai BUMN, serta ibu-ibu dan bapak-bapak di kementrian yang hendak naik jabatan.

Ia diajari etika umum, etika komunikasi, public speaking, ekspresi suara dan sikap tubuh, cara bicara yang baik, cara duduk yang berkelas, cara berjalan, mengatur gesture, mengembangkan karakter, membangun kepercayaan diri, meningkatkan motivasi agar menjadi manusia unggul, pengetahuan etiket bisnis, serta table manner. Selain itu juga Aretha juga menambah kelas khusus yang mengajarkan etika berbusana, make-up, serta perawatan diri. 

Para peserta juga diajarkan tentang hal-hal yang tidak sopan dibahas dengan orang lain yang baru dikenal, contohnya topik terkait SARA, status perkawinan, status reproduksi, juga afiliasi politik.

Ketika belajar mengenai table manner, ia harus menguasai cara makan ala Jepang, Inggris, China dan Amerika. Berbagai macam peralatan makan yang tersedia di atas meja membuatnya pusing kepala. Memangnya, siapa yang hendak makan dengan peralatan sebegitu banyaknya?

Namun kalau dipikir-pikir, apa relevansinya kelas kepribadian dengan latar belakang pendidikannya yang nanti—mungkin—hanya akan banyak bekerja di balik layar? Apakah seorang programmer akan diajak gala dinner segala? Tidak mungkin, bukan? Ia hanya mengikuti kemauan Attar. Sebetulnya, itu bisa disebut sebagai—setengah—paksaan.

"Re, password Instagram-ku apaan, ya?"

Pesan dari Attar membuat Aretha geleng-geleng kepala. Ia kini tak ubahnya bank password berjalan. Mengapa laki-laki itu tidak menghapal password miliknya sendiri dan malah menumpangkannya di kepala Aretha? Bagaimana mungkin si otak pintar itu bisa melupakan password yang dia buat sendiri hanya dalam tempo beberapa hari saja?

"Kok, nanya aku lagi?" balas Aretha.

"Bukannya aku mengganti semua password–ku bareng kamu. Siapa tahu kamu masih ingat."

Aretha mengirimkan pesan berisikan password Attaruna, bukan keseluruhan huruf dan angka, melainkan hint–nya saja.

"Thanks, Princess. Ingatanmu memang seperti gajah."

"Apakah itu pujian?"

Senyap. Attar tak lagi menjawab.

Attar berkata jarang sekali bermain media sosial dan itu dibuktikan oleh Aretha yang sempat kepo dengan isi akun media sosialnya. Akun Instagram–nya hanya berisikan tiga buah foto semasa masih bayi. Lucu sekali. Akun tersebut dibuat private dan hanya diikuti beberapa ratus orang yang Aretha tebak teman-teman kuliahnya, atau rekan-rekan sejawatnya.

Sementara Aretha sendiri, dulunya pernah menjadikan media sosial sebagai sarana untuk melarikan diri. Ia menambahkan teman-teman dari dunia maya untuk mencari validasi, mencurahkan tulisan dan sumpah serapah ala remaja frustrasi. Sampai ia sadar diri, balasan-balasan prihatin dari orang-orang tersebut tidak akan membawanya ke mana-mana. Mereka hanya ingin tahu, berbasa-basi mengirimkan nasihat, lalu melupakannya. Aretha nekat menonaktifkan seluruh akun media sosialnya dan anehnya, hidupnya menjadi lebih tenang.

"Kenapa isi medsos Mas Attar hanya sedikit?" tanya Aretha malam itu.

Ia iseng-iseng membuka akun media sosial Attaruna. Beberapa orang menandai Attar pada beberapa postingan foto di sana. Setelah membaca caption–nya, ia sontak merasa insecure. Deretan perempuan mantan pacar laki-laki itu cantik dan anggun, berbeda dengan dirinya yang seorang keset kaki. Setelah itu, ia kapok dan sadar diri. Lagipula, membuka akun media sosial seseorang tanpa sepengetahuan pemiliknya sudah melanggar ranah privasi.

Imperfect Romeo (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang