Tiga

7.4K 1.2K 237
                                    

"Attar, tolong temani Aretha main sebentar, ya."

"Baik, Tante," sahut Attar sopan.

Diperhatikannya anak perempuan itu. Rambutnya dipotong sebahu, bergelombang seperti ombak. Pipinya putih dan montok sekali. Ingin Attar mencubitnya, tetapi ia takut anak itu menangis.

Anak itu menatap Attar penasaran dengan mata bulatnya. Dalam dekapannya, terdapat selimut merah muda yang sudah kumal. Pernah Attar bertanya kepada ibunya, mengapa ada anak yang suka membawa barang-barang tidak penting seperti itu. Apakah mereka tidak malu? Ibunya berkata, barang-barang tersebut mendatangkan rasa nyaman.

"Berapa umurmu?" tanya Attar buka suara.

Anak itu menggosok ujung hidungnya. "Enam tahun."

"Oh. Ayo, duduk di sini." Attar menepuk-nepuk bangku kayu di sebelahnya. "Namamu Aretha?"

Aretha mengangguk. Attar tidak lagi bertanya, malah sibuk dengan buku di tangannya. Ia tidak punya adik seumuran dengan Aretha. Jadi, sulit baginya berbasa-basi dengan anak sekecil itu.

"Mas ganteng sekali."

"Ha?" Attar terperangah. Ia balas menatap Aretha dengan alis terangkat, sedangkan Aretha menatapnya dengan sorot kagum cenderung genit. Mata bulat itu bersinar-sinar. "Tentu saja. Papaku juga ganteng," sahut Attar sekenanya.

"Kenapa?"

"Kenapa apanya?"

"Kenapa Mas ganteng?"

Attar menutup bukunya kesal. Tidak biasa-biasanya ada anak kecil yang memperhatikannya, lalu mengatakan dirinya tampan. Dasar genit!

"Kamu tahu kenapa aku disebut ganteng dan kamu disebut cantik?"

Aretha menggeleng.

"Aku disebut ganteng karena aku laki-laki dan punya penis. Kamu disebut cantik karena kamu perempuan dan punya vagina. Mengerti?"

Aretha memiringkan kepalanya. "Apa itu penis?"

Attar ternganga. "Memangnya ibumu tidak mengajarimu alat kelaminmu sendiri?"

"Alat kelamin itu apa?"

Respons Aretha membuat Attar garuk-garuk kepala. Sejak kecil kedua orang tuanya sudah mengajarinya anatomi tubuhnya mulai dari kaki hingga kepala. Kenapa Aretha malah bertanya?

"Alat kelamin itu—"

"Kalian ngomongin apa, sih?" Terdengar suara sang tante menyela percakapan itu. "Serius amat?"

"Tante, apa itu penis?" sambar Aretha menggoyang tangan tantenya.

Raut wajah Martha seketika syok. "Attar! Kamu ngomongin apa dengan Retha?"

Attar menampakkan raut polosnya. "I've just told her, perbedaan laki-laki dan perempuan terletak pada penis dan vagina. Apa aku salah?"

"Ng-nggak salah, tapi ... " Martha pun ragu-ragu memilih kata-katanya, "mungkin Retha tidak mengenal kata-kata seperti itu."

"Memangnya kedua organ itu punya nama lain?"

"Ya, beberapa orang menamainya dengan nama lain."

"Kenapa?"

"Karena ... ayolah, itu nggak sopan, Nak."

"Kenapa nggak sopan? Biasa aja, kok."

Belum sempat Martha menjawab, keponakannya kembali menggoyang tangannya menuntut penjelasan. "Tante, penis itu a—"

"Should I show her?" sambar Attar polos sekaligus gemas.

"Apa?" Martha melongo dengan muka memerah. "Apa menurutmu sopan memperlihatkan itu pada orang lain?"

Imperfect Romeo (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang