Terhitung sejak kasus pembunuhan di kafe Olivier, hampir semua orang mengenal sianida, atau paling tidak pernah mendengarnya. Kasus tersebut sempat santer beberapa tahun yang lalu. Proses persidangannya berlangsung alot dan berlarut-larut.
Kini, racun mematikan tersebut berada dalam genggamannya. Ujung-ujung jarinya gemetar seperti mengalami gejala stroke ringan. Oh, jangan tanyakan bagaimana cara ia mendapatkannya. That's such a lame stupid question, right? Nyatanya, segala sesuatu dunia ini ibarat pisau bermata dua. Asalkan ada uang, siapa pun bisa menang.
Tadinya ia ingin membeli arsenik, raja dari segala racun. Tetapi akhirnya memutuskan sianida saja sudah cukup. Ia hanya butuh satu tetes, maka hidupnya berakhir.
Unbelievable!
Ia melirik gelisah pada jam dinding yang jarumnya bergerak semakin lambat. Entah itu perasaannya saja atau memang sudah waktunya baterai jam itu diganti. Baru pukul sebelas lewat sedikit. Hidupnya berada di ujung tanduk. Dan menunggu adalah hal yang paling menyebalkan di muka bumi.
Terdengar bunyi kaca jendela diketuk dari luar. Bukan, bukan diketuk, melainkan dilempari dengan kerikil.
Ari bernapas lega. Ia bergegas membuka jendela dan melongokkan kepalanya ke luar. Senyuman gugup dan cemas terulas di bibirnya kala melihat seseorang mendongak menatapnya dari halaman. Cahaya temaram dari lampu taman menyinari sisi wajahnya.
"Buruan!" Laki-laki di bawah sana memberi isyarat dengan menunjuk ke jam tangannya pertanda sebaiknya mereka bergegas.
Ari mengikatkan tali lebar yang terbuat dari robekan seprai yang disambung-sambung ke kaki tempat tidur. Hanya benda itu yang terpikirkan olehnya sebagai sarana untuk kabur, terinspirasi dari beberapa adegan film yang ditontonnya sebentar-sebentar. Ia tidak sempat memikirkan cara lain. Otaknya seolah buntu diajak berpikir.
Ia memastikan pintu kamarnya terkunci dengan baik. Dalam keremangan cahaya dari lampu tidur, ia menyambar tas kain berisikan sedikit uang dan beberapa dokumen penting, lalu menyampirkan tas tersebut ke bahunya.
Untung saja, Donny, teman dekatnya semasa SMA mau bekerja sama. Laki-laki itu meminjam mobil butut milik orang tuanya yang Ari lihat telah terparkir di bawah pohon mangga, di depan rumah tetangganya.
Dengan tungkai menggigil ia menuruni jalinan seprai tersebut. Tangannya sampai kebas berpegangan. Wajahnya pias dan napasnya memburu ketakutan. Jantungnya bertalu-talu. Bila rencananya malam ini ketahuan, maka hidupnya selesai sudah. Sebotol racun sianida yang telah ia siapkan adalah pilihan terakhir yang ia punya.
Ya, ia memang seputus asa itu!
Dari luar, rumahnya tampak telah dihiasi sedemikian rupa. Anggota wedding organizer yang disewa ibunya bekerja dengan baik. Esok hari akan ada pesta yang megah dan mewah. Tapi bagi Ari, ia lebih baik mati daripada dipaksa menikah.
Begitu ia berhasil menyelinap ke luar dan menaiki mobil butut yang ajaibnya tidak berulah itu, ia menyeringai penuh kemenangan. Dadanya buncah oleh rasa senang. Biaya ratusan juta yang dikeluarkan ibunya sia-sia sudah.
"Kamu yakin, Ri?" tegur Donny memecah keheningan. Sejujurnya, ia pun takut terkena masalah.
Ari mengangguk pasti. "Tentu."
"Kalau kamu tertangkap bagaimana?"
"Maka aku mati." Ari meremas tas kainnya gelisah. Ia masih ingin hidup, tentu saja.
Donny mengantarkan Ari ke sebuah hotel yang paling dekat dengan pelabuhan. "Maaf, Ri, aku nggak bisa menemanimu lebih lama lagi. Orang tuaku bisa curiga."
Ari tersenyum kecil. "Ini sudah lebih dari cukup, Don. Terima kasih."
"Jaga dirimu baik-baik," balas Donny cemas.
"Tenang saja."
"Jangan lupa beri kabar."
"Oke."
Laki-laki itu seketika memeluk Ari erat, berat rasanya melepaskan. Tetapi, ia tidak bisa berbuat banyak karena kondisinya yang pas-pasan.
***
Malam itu Ari tidak bisa tidur. Matanya sangat berat. Namun, setiap bunyi-bunyian kecil di luar hotel membuatnya terperanjat.
Keesokan paginya, ia bertolak menuju pelabuhan. Dan keesokan harinya lagi ia menginjakkan kakinya di tanah Jawa.
Terseok-seok Ari mencari taksi. Ia menyebutkan sebuah alamat kepada sopir yang bergerak sigap. Perasaannya masih gelisah dan ketakutan.
Matanya menatap rumah besar tempat ia sering menghabiskan liburan di masa kecilnya. Kenangan manis bersama ayahnya terlukis jelas di pelupuk mata. Ari mengerjapkan matanya yang tiba-tiba berair.
Bergegas ia keluar dari taksi. Ia melewati pos satpam yang tidak berpenghuni.
Setibanya di depan pintu, ia memencet bel dengan tidak sabar.
Begitu pintu tersebut terbuka, tampaklah sesosok perempuan cantik dengan seorang laki-laki di belakangnya yang melongok penasaran.
Perempuan itu terbelalak. "Aretha?"
"Tante Martha, Om Robert, tolong!"
***
Nitip prolog ya, genks. 🤭🤭
Seperti biasa, isinya kapan-kapaaan 😂😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Romeo (END)
RomanceAretha lari dari pernikahannya dan kabur ke Jakarta, demi menagih janji sang cinta pertama. Sialnya, begitu bertemu dengan Attaruna, malah kata-kata pedas laki-laki itu yang ia dapatkan. Tampaknya Attaruna sama sekali tidak mengingat janji yang semp...