Tiga Puluh Tujuh

4.5K 1K 276
                                    

Happy weekend, genks! 😘

"Mulai hari ini, kamu bisa pakai mobilku lagi." Attar meletakkan kunci mobilnya ke telapak tangan Aretha. "Good luck ya, Re. Semangat! Maaf nggak bisa nganterin. Oh, ya, nanti malam aku nggak pulang, piket jaga sampai besok. See you, Princess," ucapnya sebelum pergi.

"Makasih ... Mas," balas Aretha sambil berpikir. Mengapa Attar harus melaporkan jadwalnya segala?

Matanya menatap punggung Attar sampai hilang dari pandangan. Pukul lima subuh laki-laki itu sudah rapi dan wangi, sementara dirinya berani menampakkan wajah bantalnya kepada Attar.

Aretha menatap bayangannya di seberang cermin. Belekan di sudut matanya banyak sekali. Aduh!

Setelah membersihkan kamarnya, Aretha membawa si Garong ke kandangnya, mengganti pasir kucing, menambahkan makanan serta minumannya, mandi, lalu membantu Bi Ati menyiapkan sarapan.

"Gugup, Ri?" tegur Thalia melihat Aretha lebih banyak diam seraya menyiapkan menu sarapan si kembar.

Aretha meringis. "Iya, Mbak."

"Perlu kamu tahu, di dunia kerja nanti kamu akan menemui macam-macam karakter manusia. Ada yang mukanya datar kayak triplek, ada yang marah-marah melulu, ada tukang ghibah, calon pelakor, ada yang sok pintar, belagu, sosialita budget BPJS, tukang ngutang, makhluk tulang lunak juga ada. Aku cuma ngasih tahu kamu, kok. Jangan sampai nanti kamu kaget."

"Terus, gimana, Mbak?" Aretha kebingungan, Thalia bicara sangat cepat mengucapkan berbagai kosakata ajaib yang membuat otaknya korslet.

"Kalau bermasalah sama orang-orang nyebelin sih, cuekin aja. Namanya juga manusia. Yang kelakuannya kayak malaikat mah banyak, tapi yang kayak setan lebih banyak lagi."

Aretha nyengir lebar. Mengobrol dengan Thalia terasa lucu. Perempuan itu seolah-olah tak punya beban hidup.

Setelah sarapan, ia bersiap-siap pergi ke kantor. Hari pertama bekerja—magang—perutnya mulas. Ia bolak-balik menatap bayangannya di cermin, memastikan penampilannya sudah bersih dan rapi.

"Aku berangkat ya, Bi," pamitnya pada Bi Ati. Bima sudah langsung berangkat setelah sarapan pagi, disusul oleh Thalia dan keluarga kecilnya.

Napas kasarnya berembus tak henti-henti di sepanjang perjalanan. Jemarinya meremas roda kemudi. Sebelum keluar dari mobilnya, Aretha melirik penampilannya sekali lagi. Rambut panjangnya ia kuncir agar lebih rapi. Tak lupa ia merapikan pakaiannya, siapa tahu ada yang kusut dan merusak first impression–nya.

"Selamat pagi, Pak," sapanya setelah mengetuk pintu ruangan kerja Pradhito.

"Selamat pagi, Aretha," sambut Dhito. "Sudah sarapan? Mau kopi?"

"Sudah, Pak, terima kasih."

"Ayo, saya bawa kamu berkeliling," kata Dhito setelah menghabiskan kopinya.

Hampir setengah jam lamanya Pradhito mengajak Aretha berkeliling. Kantor perusahaan terdiri dari dua lantai. Ruangan kerja para karyawan tidak diberi sekat-sekat, melainkan sebuah ruangan yang terhampar lepas dari depan ke belakang, dibatasi dengan beberapa buah koridor. Puluhan monitor komputer tersusun di atas meja. Para karyawan sibuk di depan monitor masing-masing, bahkan ada yang sekaligus bekerja dengan laptopnya.

Bagian pantry didesain lebih unik lagi. Ada beberapa snack and beverage machine berisikan macam-macam minuman, serta makanan ringan. Terdapat meja panjang mirip meja bar tempat karyawan menikmati bekal makan siang mereka.

"Bekal makan siang bawa sendiri. Di lantai tiga gedung ini juga ada restoran cepat saji, cafe, dan coffeeshop. Terkadang kami meeting bersama klien di sana," jelas Dhito.

Imperfect Romeo (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang