Tiga Belas

5.5K 1K 161
                                    

Selamat bermalam minggu 😘😘😘

"Kalian mau ke mana malam-malam begini?" tegur Bima keluar dari mobilnya saat Attar dan Aretha muncul di garasi. Ia baru saja pulang dari rumah sakit.

"Mau makan, Pa. Lapar." Attar mengelus perutnya, sedangkan Aretha hanya mengangguk canggung.

"Bi Ati nggak masak?"

"Bosan, pingin makan di luar."

"Okay. Jaga Ari baik-baik," kata Bima sambil melirik Aretha.

Attar memutar bola matanya. Entah siapa–menjaga–siapa di antara mereka berdua. Yang jelas, Aretha bukan sosok yang harus dikhawatirkan.

"Attaruna?"

"Ya, Pa." Attar tahu, ketika ayahnya memanggilnya seperti itu, artinya ayahnya serius.

"Berangkat dulu, Om." Aretha mencium tangan Bima takzim.

"Hati-hati." Bima tersenyum kaku, lalu mengusap rambut Aretha.

Attar hanya memperhatikan dari jauh. Bila dipikir-pikir, ayahnya adalah tipe orang yang jauh lebih menyayangi anak orang lain ketimbang anak kandungnya sendiri. Contohnya, sikapnya terhadap Costa yang sangat manis. 

"Papa memang begitu. Kalau sikap beliau kaku dan dingin, jangan diambil hati." Attar memasang seat belt-nya sebelum memutar kunci. "Mungkin dulu nenek salah ngidam."

"Oh, ya?" Aretha mengangkat alisnya. Bila tempo hari Bima yang mempergunjingkan kelakuan anaknya, sekarang malah sebaliknya, dengan gaya yang persis sama. Mereka kompak sekali!

Sedan hitam itu pun meluncur mulus di jalanan malam ibukota. Alunan lagu-lagu hits dari Prambors FM menemani mereka yang lebih banyak tenggelam dalam pikiran masing-masing. 

Aretha menilai, Attar bukan tipe laki-laki yang mengedepankan estetika. Cat mobilnya terdapat baretan tajam di mana-mana. Penampilan Attar pun biasa-biasa saja, mengenakan kaus oblong putih, ripped jeans lusuh, dan sandal jepit. Untungnya, penampilan lusuh itu tertutupi dengan baik dengan wajah tampan yang dimilikinya.

Berduaan bersama Attar nyatanya membuat Aretha berkeringat dingin. Irama jantungnya jadi tidak karuan. Aroma parfum lembut laki-laki itu menyapu indera penciumannya dan itu membuatnya nyaris gila. Jujur saja, ia jauh lebih betah mengamati Attar dari pohon mangga meski bertemankan gerombolan nyamuk lapar tak beretika.

Dulu ia pernah berpikir telah melupakan Attar, anak laki-laki di masa kecilnya yang sangat ia puja. Bahkan, ayahnya pun sering meledeknya. Begitu ia menginjak usia remaja, sosok Attar perlahan tersapu badai. Gejolak hormon membuatnya menyukai satu—dua lawan jenis yang sayangnya tak satu pun berhasil ia kencani. Apes sekali!

"Kenapa kamu nggak pernah punya pacar, Ri? Masa anak Papi secantik ini nggak ada yang melirik?" tanya ayahnya pada suatu hari.

Aretha hanya mengangkat bahu. "Nobody's qualified."

Ayahnya terbahak. "Kamu masih menunggu laki-laki dari masa kecilmu?"

Pipi Aretha seketika memanas. "Apaan, sih, Pi? Enggaklah!"

"Jodoh itu misteri, Nak. Kalau dia jodohmu, kalian pasti akan dipertemukan kembali. Atau, Papi perlu mengatur pertemuan kalian?"

"Pi!" Aretha melotot. Sementara ayahnya tertawa nyaring.

Untuk mengalihkan pikirannya, Aretha mengamati jalanan dan deretan bangunan melalui jendela kaca. Namun ia tahu, sebanyak apa pun ia berusaha mengingat apa yang telah dilewatinya, tempat-tempat tersebut tidak akan terpetakan dengan mudah di kepalanya. 

Imperfect Romeo (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang