Tiga Puluh Enam

4.7K 1K 335
                                    

"Mas, aku dipanggil interview!" sorak Aretha begitu pintu di hadapannya terkuak. Attar menatapnya dengan raut bingung. Rambut laki-laki itu kusut, kelopak matanya sembab pertanda baru bangun tidur. "Oh, maaf, aku ... umm... nanti saja," tukas Aretha sungkan telah mengganggu.

"Hey!" Attar menarik ujung kaus di pinggang Aretha. "Kamu ... apa?"

Aretha terpaksa membalikkan badan, kemudian menghadapkan layar ponselnya ke muka Attar. "Aku dipanggil interview."

"Oh ya?" Attar memundurkan kepala sedikit dan membaca identitas pengirim email di depan matanya. Dalam hati ia bersyukur Dhito menepati janjinya. "Wow, selamat ya, Re. Kapan interview–nya?"

"Senin, Mas."

"Oke. Kamu sudah mandi?"

Aretha menggeleng.

"Mandi sana. Setengah jam lagi kita berangkat."

"Eh? Sekarang baru hari Sabtu, Mas."

"Bukan berangkat interview–nya, Retha. Pastinya kamu belum punya pakaian kerja, kan?"

"Belum sih, Mas. Tapi—"

"Tapi apa?"

"Ini cuma interview magang, kok."

"So what?" Attar mengangkat alisnya. "First impression kamu harus sempurna. Jangan dianggap sepele walaupun itu cuma wawancara magang."

"Belum tentu aku diterima, kan? Mas Attar nggak usah buang-buang uang buat aku." Aretha mendadak mulas, tahu pasti Attar akan menanggung biaya belanjaannya. Rasanya ia sungkan selalu merepotkan Attar.

Tadinya, jantungnya nyaris melompat bahagia kala menerima email itu. Namun kini, semangatnya amblas hingga ke dasar bumi. Mengingat kemampuannya yang tidak seberapa, ia tidak yakin bisa lolos tahap wawancara. Jangan-jangan nanti ia membuang-buang waktu saja. "Aku bisa nggak ya, Mas?" cicitnya kemudian.

"Percaya diri, Retha, ya ampun! Bukannya kamu juga sudah pernah di–interview sebelumnya?" kata Attar mengingatkan riwayat pekerjaan Aretha sebagai petugas cleaning service.

"Dulu itu bukan interview sih mas, cuma ditanyai dikit. Formalitas aja."

"Siapa tahu kali ini juga cuma formalitas, kan?" kata Attar setengah berharap. Dhito tidak menjanjikan akan menerima Aretha sebagai pegawai magang, tetapi hanya menjanjikan kesempatan bagi gadis itu dipanggil wawancara. "Apa sih, yang bisa bikin kamu percaya diri? Apa perlu aku cium dulu?"

"Hoho, memangnya Mas Attar berani?" cibir Aretha meledek.

"Eh, nantangin?" Attar secepat kilat meraih pinggang Aretha dengan lengannya, lalu tanpa pikir panjang ia membungkuk untuk mengecup pipi Aretha.

Hanya sebentar, tetapi sudah cukup membuat konsentrasi Aretha buyar. Ia membeku di tempatnya bak cicak kering. Attar baru saja mencium pipinya, dan ciuman itu mengenai sudut bibirnya!

Entah apakah ia harus marah karena Attar menerima tantangan konyolnya. Sadar atau tidak, justru dirinyalah pada awalnya yang lancang mencium laki-laki itu terlebih dahulu.

"Mandi sana," usir Attar mendorong bahu Aretha lembut sebelum menutup pintu.

Setelah pintu kamar Attar tertutup, Aretha masih terdiam macam orang bodoh. Bunga-bunga di hatinya serentak bermekaran.

Ia terperanjat kala ponselnya berbunyi tanda pesan masuk.

"Ngapain kamu masih bengong di situ? Mandi!"

Matanya cepat-cepat melirik dua buah kamera yang terletak di pojokan, kemudian terseok-seok menuruni tangga dengan langkah linglung, sadar diri untuk tidak berharap kepada Attar.

Imperfect Romeo (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang